Selasa, 07 Oktober 2014

Ayah Jangan Jual Sawah Kita (Cerpen Mading)

Ayah Jangan Jual Sawah Kita

Menjadi lulusan terbaik bukanlah akhir maupun hasil yang ku dapat dari apa yang telah ku  lakukan selama ini. Walau tak sedikit biaya, waktu dan tenaga yang ku keluarkan demi itu, namun hal tersebut bukanlah sebuah hal yang patut di banggakan, karena kehidupan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.
            Nama ku Roni, aku baru saja tamat kuliah. Jurusan yang ku ambil adalah jurusan pertanian dan fokusnya adalah perbisnisan, walau tak pernah memegang uang banyak namun menghitung adalah kegemaran ku. Kenangan akan pelemparan topi wisuda masih terngiang – ngiang dibenakku, ah betapa bahagianya saat – saat itu, kini seluruh pengabdian ku selama beberapa tahun belakangan baru akan bisa ku buktikan dan akan ku buat diriku untuk melangkah lebih maju. Aku adalah anak semata wayang dari keluarga petani sederhana di desa, ayah ku setiap harinya hanya menghabiskan waktu berkebun dan bercocok tanam di ladang sedangkan ibu ku hanya tergeletak tak berdaya di rumah, kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat di ladang beberapa tahun yang lalu, mengapa tak dibawak ke rumah sakit? Jika kami punya uang yang banyak kami pasti sudah melakukannya. Mengingat keadaan keluarga ku saja sudah membuat ku menitihkan air mata, namun aku tak boleh menyerah akan ku buat keadaan terpuruk keluarga ku sebagai alasan mengapa aku harus merantau ke kota dan menuntut ilmu demi hal tersebut.
            Sekarang aku berada di terminal, sudah kuputuskan sejak awal untuk segera mungkin balik ke desa begitu kuliah ku selesai. Seperti biasa aku selalu tertidur ketika sedang berada di bis, jika aku terjaga yang akan terjadi malah akan semakin buruk, karena aku mabuk perjalanan terutama jalanan di kota, penuh asap kendaraan, suara bising dari klakson, pedagang yang sesekali seenaknya masuk ke bis dan berteriak menjual dagangannya dan pemandangan gedung – gedung yang sangat tinggi hanya membuat kepalaku bertambah pusing, aku tahu itu adalah hal wajar yang terjadi di kota dan aku sudah sering mengalaminya beberapa tahun belakangan ini namun aku tetap tak terbiasa dengan keadaan perjalanan seperti ini.
            Beberapa jam di perjalanan akhirnya aku terbangun, seharusnya aku sudah bisa melihat beberapa petak sawah dari dalam bis ini, namun sampai saat ini belum mungkin rasanya jika aku masih belum sampai di kawasan pedesaan, waktu demi waktu berlalu tetapi entah mengapa aku tak melihat sepetak sawah pun, hanya bangunan – bangunan rumah dan ruko kecil yang kulihat sejauh ini. “Apa ini? bukankah seharusnya jalan ini berada diantara petak sawah? Atau aku salah naik bis?” Gumam ku. Ku putuskan untuk membuang rasa penasaran ku dan bertanya kepada kernet yang sedari tadi duduk manis di depan, “Adik tidak salah naik bis kok.” Jawabnya singkat namun penuh dengan arti yang sangat dalam, mendengar jawaban darinya kuputuskan untuk duduk kembali dan memikirkan dalam – dalam apa yang sebenarnya terjadi, “Seharusnya di sana ada pohon beringin yang besar.” Gumam ku ketika bis yang ku tumpangi melewati sebuah rumah bertingkat, pemandangan itu membuat ku berpikir lebih keras hingga membuat kepalaku pusing sendiri namun sekarang sudah menuju pada sebuah kesimpulan, yaitu “Alih fungsi lahan.” Ucap ku.
            Tanah yang seharusnya digunakan petani desa untuk menanam padi dan sayuran kini berganti menjadi beton, “Apakah kalian akan memanen beton tersebut? Atau kalian akan memakannya?” Pikir ku sinis akan kekecewaan ku terhadap penduduk di desa. Kekesalan ku memuncak ketika melihat ayah ku sedang berunding dengan seorang pria ber jas hitam lengkap dengan kaca mata dan tas koper pada genggamannya, segera mungkin aku berlari kearahnya dan berteriak, “Ayah jangan jual sawah kita!!” mendengar teriakan ku tubuh ayah mulai gemetar dan memalingkan wajahnya ke arah ku mulutnya menganga dan matanya mulai berair, “Roni!” Ucapnya ketika tubuhnya berada dalam pelukan ku, “Ku mohon ayah, jangan jual sawah yang kita miliki. Bukankah ayah makan dari sana? Ingatkah ayah ketika kita bermain bersama di sana? Dan bukankah dari sawah itu juga biaya pendidikan ku berasal? Jadi kumohon jangan buang satu – satunya harta yang kita miliki.” Ucap ku padanya, kurasakan bibir ku bergetar. Ku akui aku sangat takut kehilangan sawah ku, penghidupan ku sebagai seorang anak petani. “Jadi bagai mana pak? Apa bisa saya beli tanah ini?” Tanya pria berjas hitam itu. “Maaf pak, saya urungkan niat saya untuk menjualnya.” Balas ayah dengan pelukannya yang semakin kuat mencengkram tubuh ku. “Baiklah.” Pria itu menginggalkan ku dan ayah dengan sedikit kekesalan yang tertoreh di wajahnya. Aku akan melindungi tanah ku, apapun yang terjadi akan kubuktikan bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan yang patut untuk diremehkan.
            “Mengapa ayah mau menjual tanah kita?” Tanya ku sesampainya di dalam rumah. “Karena kita perlu uang nak untuk pengobatan ibu mu.” Jawabnya dengan nada yang sedikit menyesal. “Apakah ayah sedang terbelit hutang atau yang lainnya?” Tanya ku balik, “Tentu saja tidak, seburuk apapun kondisi keuangan ayah. Ayah tidak akan meminjam uang jika ayah tak bisa membayarnya.” Aku menyukai sifat ayah yang satu ini, meminjam tanpa mengembalikan bukanlah suatu hal yang dapat ditiru, itu adalah sifat tak bertanggung jawab dan aku ingin menjadi lelaki yang bertanggung jawab untuk diriku keluargaku dan masyarakat. “Jadi bagaimana?” Tanya ayah padaku. “Tenang saja, aku sudah mendapatkan ilmu yang cukup untuk membangun sebuah usaha demi menyelamatkan tanah kita, dan mari kita mulai semua dari hal yang paling kecil dahulu, mari kita kembang biakkan tanaman ini dahulu.” Ku keluarkan bibit tanaman anggrek yang sedari tadi terbungkus dengan tas kresek oleh ku. “Dari mana kau mendapatkannya nak?” “Ini kudapatkan dari salah seorang dosen ku, dia memberi ku ini karena menurutnya nilai ku bagus – bagus. Yah, aku berjuang demi yang terbaik di sana.” “Ayah bangga pada mu nak.” “Sekarang bukanlah saatnya untuk berbangga diri ayah, hal yang sebenarnya baru saja akan dimulai dari detik ini dan kita akan berjuang demi yang terbaik dan demi ibu juga. Oh iya ibu dimana?” “Ibu sedang tidur di kamar, mau lihat?” “Pasti!”
            Terlihat sosok wanita tua yang sangat ku kenal wajahnya sedang tidur nyenyak ketika ku masuki ruangan penuh kenangan ini tubuhnya lemah, kulitnya penuh keriput, rambutnya putih, seluruh perawakannya tak jauh beda dengan pria yang kini berdiri di sebelah ku, ayah. Ya ini adalah kamar orang tua ku, kamar yang membuatku tidur lebih baik ketika aku takut untuk tidur sendiri, biasanya hal ini terjadi jika Budi teman kecil ku mulai bercerita tentang hantu saat kami bosan bermain. Tanpa terasa air mata ku mulai mengalir kembali, memori indah masa kecil ku terputar kembali dalam benakku bagai kaset kusam yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam, membawa ku kembali pada kenangan – kenangan indah pada ruangan pada rumah tua ini. “Ibu, aku pulang.” Ucap ku. “Roni? Kau kah itu?” Tanya nya. “Iya bu, ini aku Roni.” Jawab ku. “Kau tahu? Berapa lama ibu menunggu mu nak?” Tanya ibu kembali. “Maafkan aku telah meninggalkan ibu dengan waktu yang sangat lama.” Jawab ku dengan air mata yang kembali membasahi pipi, sejak kapan aku menjadi secengeng ini? “Haha, ibu tak apa – apa nak, hanya saja ibu terlalu senang masih sempat untuk bertemu dengan mu lagi. Karena, waktu ibu sudah tak banyak. Uhuk uhuk.” “Ah!? Maksud ibu?” Perkataan ibu barusan membuat ku sedikit kecewa dan geram. “ “Yah, jaga anak kita ya.” Ucap ibu, suaranya menjadi semakin kecil. “Ayah!? Apa maksud dari semua ini!? Ayah!?” Ayah memalingkan wajahnya, terlihat raut kesedihan di balik gambaran ekspresi itu. Apakah ini yang di sebut dengan akhir? Dan saat kutoleh ibu, dia sudah tak berbicara bibirnya tertutup rapat tak kalah rapat dengan matanya tangannya menggenggam ku dan dia sudah benar – benar tertidur, dia akan tertidur dalam waktu yang sangat lama dan itu membuat ku sangat sedih terutama karena aku tak sempat mengatakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya.
            Aku tak habis pikir, ketika ayah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Ibu berjuang menahan rasa sakitnya dan menekan seluruh biaya pengobatan demi biaya sekolah ku, karenanya penyakit ibu menjadi semakin parah dan karena itulah ayah ingin menjual tanah kita. Sungguh berat perjuangan kedua orang tua ku, aku tak menyangka kepergian ku membuat keadaan menjadi seperti ini, tekad ku semakin kuat untuk merubah nasib keterpurukan keluarga ku, lihat saja nanti akan ku buktikan petani juga bisa memakai jas seperti makelar tanah kemarin.
            “Lalu, berapa orang petani yang masih bertahan dengan lahan sawah mereka yah?” tanya ku, “Um, sekitar 75 orang.” Jawabnya. “Ugh! Sedikit sekali? Tidak apa – apa, apakah lahan mereka masih aktif? Maksud ku masih bisa panen dengan hasil yang bagus.” Tanya ku lagi, “Ya, lahan mereka masih bisa menghasilkan, tanah mereka masih gembur dan hidup mereka ditaruhkan pada tanah itu.” “Baiklah kurasa itu cukup.” Jawab ku sambil membuka tas besar yang ku miliki, “Ini aku memiliki sejumlah uang, selama di kota aku bekerja sambilan, mengajar les, menjadi karyawan honorer dan masih banyak lagi. Jadi rencana ku sekarang adalah membeli seluruh hasil panen para petani dan menjualnya ke kota.” “Lalu bagaimana kau akan membawanya?” “Mang Hidin masih memiliki mobil truknya kan? Kita akan sewa itu beserta supirnya, kemudian akan ku jual dengan seorang bos super market dengan harga tipis di atas modal, hasil penjualan dari pembelian panen petani akan kita putar menjadi modal untuk terus membeli panen mereka dan keuntungan tipisnya akan kita pakai untuk biaya sewa mobil supir beserta buruhnya.” Jelas ku, “Lalu bagaimana dengan keuntungan kita?” “Aku tadi menjelaskan bahwa yang kita pergunakan adalah hasil penjualan dari panen petani, bagaimana dengan panen kita sendiri? Panen kita sendiri itulah keuntungan kita ayah dan apakah ayah tahu? Sisa uang dari ongkos mobil supir dan buruh bisa kita gunakan untuk keperluan tani kita.” Mendengar penjelasan panjang lebar ku mata ayah terbuka dan berbinar. “Kau benar nak! Kau benar!!” Ucapnya bersemangat, “Tetapi, untuk sementara ini apakah ayah masih kuat bertani?” Tanya ku, “Tentu saja! Ayah masih kuat!!.” “Aku akan jamin, kita hanya akan bertani pada awal panen, sisanya? Tidak! Aku tak ingin ayah kelelahan, kita akan gunakan keuntungan kita untuk menyewa petani garapan, sementara waktu ayo kita olah lahan pertanian kita. Oh iya, seiring berjalannya waktu aku akan mengembangkan tanaman anggrek yang ku bawa karena ini akan menjadi modal tambahan untuk usaha kita ayah. Ayah tahu, kalau harga tanaman hias seperti ini sangat mahal jika kita menjualnya di kota. Mari kita berjuang ayah!” Ucap ku menggebu – gebu yang kemudian dibalas ayah dengan anggukan yang mantap.
            Keringat bercucuran pada leher dan kening pria tua yang kini sedang berbungkuk di hadapan ku, wajahnya yang semakin lama mulai kusam dan penuh keriput itu menyadarkan ku bahwa setiap manusia akan mengalami hal yang sama karena waktu terus berputar tak peduli apapun yang terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya ataupun memutarnya balik terlebih lagi untuk mengulangnya mengulangnya, apakah waktu seegois itu? Kurasa jawabannya iya, waktu memang sesuatu yang egois, waktu lah yang menyebabkan kematian ibu dan karena waktu lah aku harus merasakan sakit akan pedihnya kehilangan. Masih tertuju pandangan ku terhadap pria tua di hadapan ku, dari raut wajahnya dia terlihat sangat kelelahan tetapi ekspresinya menunjukkan sebuah kebahagiaan. “Ayah apa yang sedang ayah pikirkan?” tanya ku, “Tidak, hanya saja ayah sangat senang kau membantu ayah bekerja di sawah.” Jawabnya, “Tentu saja aku akan membantu ayah, aku kan anak ayah.” “Hahaha, maksud dari perkataan ayah bukan untuk menyindir mu, hanya saja selama ini ayah bekerja sendiri sebelum hal yang buruk terjadi pada ibu mu, ayah sangat merindukannya nak.” Ucapnya dengan nada suara yang sedikit bergetar, dia pasti sedang merasa sedih, “Aku juga  merindukan ibu yah, sangat merindukannya. Tetapi ayah tak perlu cemas, karena sekarang aku berada disisi ayah, bersama kita berdua akan merubah nasib dan nasib para petani di desa ini dan menekan usaha para makelar tanah itu dalam usahanya untuk mengubah alih fungsi lahan! Kita akan pertahankan tanah hijau desa kita, bersama – sama ayah kau dan aku anak mu.” “Ya, kau benar nak!” Ucap ayah dengan tangannya terkepal tanda jiwa kini dengan penuh semangat.
            Daun – daun padi semakin menguning dan burung – burung nakal mulai berterbangan hampir di setiap petak sawah adalah pertanda bahwa sebentar lagi waktu panen tiba, perasaan ku mulai semangat dan terus bertambah semangat seiring bergantinya hari mengingat pengorbanan ku selama bertahun – tahun ini akan mencapai puncaknya dan pertaruhan ku dengan waktu akan menuai hasil, ku langkahkan kaki dengan semangat dan mantap menuju sawah pagi itu menghirup udara segar sebanyak dan sedalam mungkin mengingat hal ini akan menjadi luar biasa, namun di tengah kegembiraan ku sosok ayah tak urung jua keluar dari rumah, mungkin dia terlalu lelah. Baiklah, akan ku selesaikan pekerjaan hari ini sendiri. Hari berganti siang berlanjut sore, namun ayah belum juga keluar dari kamarnya. Kuputuskan untuk segera mungkin menyelesaikan pekerjaan ku dan melihat kondisi ayah, benar saja ayah masih berbaring di atas tempat tidur, badannya berkeringat dan tubuhnya sedikit menggigil, suhu badannya terasa sangat panas ketika ke sentuh dan semua hal tersebut membawa ku kepada satu kesimpulan, dia sakit. “Ayah, aku akan membawa mu ke dokter.” Ucap ku sambil mencoba untuk menggendongnya, “Tidak nak, tak usah kau repotkan dirimu untuk seorang pria tua seperti ku.” Jawabnya yang kini sudah ku lingkari tangannya di leher ku tanda bahwa dia siap ku angkut, dari sini hawa panas dalam tubuh ayah sangat terasa, sampai punggung ku merasa hangat. Di saat yang bersamaan hal yang tak diinginkan terjadi, hujan turun di tengah – tengah perjalanan ku, air hujan perlahan merambat membasahi tubuh ayah dan itu membuat ku lebih panik, “Maafkan ayah karena tak bisa menjaga ibu mu Roni.” Ucapnya di tengah – tengah kepanikan ku, “Apa yang ayah katakan!? Ayah jangan banyak bicara dulu, tempat untuk mu berobat tinggal sedikit lagi.” Jawab ku dengan nada yang agak tinggi, ku akui aku sangat panik kali ini, ditambah hujan yang semakin deras hanya memperkeruh suasana. “Mungkin inilah balasan setimpal yang harus ku terima karena tak berhasil menjaga ibumu. Ayah merasa sangat bersalah, ayah minta maaf pada mu yang sebesar besarnya. Uhuk uhuk.” Ucapannya kini membuat ku menangis. Ya, aku menangis di tengah hujan deras sambil menggendong ayah di punggung ku. “Ayah, kumohon berhentilah untuk berbicara sebentar, karena tempat untuk berobat tinggal sedikit lagi.” Ucap ku sambil merengek, “Roni anakku, gapailah semua keinginan mu. Ubahlah nasib mu dan nasib para petani, sesuai dengan yang pernah kau katakan pada ku dulu, aku bangga memiliki anak seperti mu Roni. Berusahalah yang terbaik dan kau tak perlu mencemaskan ibu mu lagi, karena sebentar lagi ayah akan menyusul ibumu juga lalu menjaganya seperti dahulu. Roni, selamat tinggal.” Ucapannya terhenti tepat di depan pintu masuk puskesmas, detak jangtungnya yang sedari tadi terasa berdenyut pelan di bahuku kini sudah tak terasa lagi. Lagi, hal ini terulang kembali, orang tua ku pergi meninggalkan ku dengan mengucapkan banyak kalimat yang menyayat hati, lagi dan kembali lagi mereka pergi tanpa sempat ku ucapkan apalagi untuk ku buktikan, betapa aku sangat mencintai dan menyayangi mereka. Mengapa? Mengapa waktu tak pernah bertindak adil padaku, bila saja dia memberi ku sedikit kesempatan mungkin ayah akan sempat untuk dirawat mungkin juga ayah akan bisa menikamti masa – masa tuanya dengan perubahan yang selalu kami dambakkan. Tetapi sepertinya aku memang harus lebih bisa sabar untuk menerima semua ini, baiklah akan ku jawab seluruh permintaan mu ayah. Akan kuubah nasib keterpurukan ku begitu juga nasib para petani. Dengan begitu, peralihan fungsi tanah yang mematikan sebagian lahan hijau desa kita akan bisa ku hentikan. Ayah, ibu lihatlah nanti.
            “Tuan, ekspor ke negara Thailand berjalan dengan mulus, dan mereka menerima barang kita.” Ucap seseorang di seberang telepon, “Bagus, terimakasih atas informasinya.” Tuut. Tanda bahwa perbincangan kami selesai, kini apa yang selalu ku dambakkan akhirnya terwujud. Jas hitam yang kini ku kenakan tak kalah hebatnya dengan para makelar tanah itu gunakan dan hasil dari ekspor lahan pertanian ku semakin meningkat, tanaman anggrek yang ku miliki kini sudah berkembang menjadi berbagai jenis tanaman cantik yang lainnya dan pastinya mereka semua adalah penghasilan terbesar kedua ku. Kini hidupku serba berkecukupan, aku memiliki hampir lima ratus truk pengangkut barang dan seratus mobil kontainer pribadi, orang – orang yang bekerja untukku sudah mencapai ribuan, dan kini tugas ku hanya untuk mengatur mereka, “Ayah, Ibu. Sekarang aku sudah menjadi seperti apa yang kalian inginkan, terima kasih karena doa kalian aku bisa menjadi seperti sekarang ini dan untuk ayah, apa yang kita idamkan selama ini sudah ku capai, ini adalah prestasi yang sangat gemilang untukku, benar aku sudah berhasil menekan peralihan fungsi lahan, walau memang agak sulit, namun aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membuat hal tersebut benar – benar berhenti. Oh iya, aku berjanji tak akan menumpahkan seluruh kekesalan ku pada waktu lagi, karena selama ini aku belajar darinya. Belajar dari waktu ku di masa lalu belajar karena banyak orang mengatakan kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Ayah, Ibu aku sayang kalian.”
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar