Selasa, 12 Mei 2015

Nilai Akhir (sebuah perjalanan seorang serda)

Nilai Akhir
            (Timor timur, 3 Januari 1978)
Hempasan angin laut malam yang dingin menusuk kulit seakan mengincar tulang ku dan membekukannya, sebuah sensasi yang tak mungkin ku dapat ketika di kampung halaman dulu. Begitu dingin seakan alam benar – benar membenci ku, pakaian lengan panjang khas TNI yang ku kenakan kini bagaikan selembar benang di buatnya. Sesekali ku tiup kedua tangan ku untuk meringankan derita yang tak kunjung usai ini. Enam orang dengan perlengkapan dan perbekalan dalam sebuah perahu yang tak terlalu besar, sedikit menaruh keraguan juga dengan fasilitas transportasi ini. “Akankah benda ini bisa membawa kami ke tempat tujuan?” Gumam ku, kurasa tak hanya beban fisik yang menjadi kendala namun beban fikiran juga siap menghantui perjalanan ku. Yah, aku adalah prajurit infanteri dengan pangkat tertinggi di perahu ini. Bermodalkan pangkat SERDA (Sersan Dua) dan menanggung beban untuk mengetuai lima orang yang kini bersama ku. Sebagian dari mereka sudah berkeluarga, hanya aku dan seorang dari mereka yang masih bujang. Meski pangkat ku paling tinggi namun usia ku lah yang paling muda, bahkan di hadapan bawahan ku, aku terlihat seperti anak ingusan yang tak tahu apa – apa. Alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah karena aku lulusan sekolah calon bintara dan bawahan ku adalah prajurit tamtama. Dalam segi pengalaman aku kalah jauh dengan mereka yang sudah mengabdi sekitar empat sampai dua belas tahun, dibanding dengan ku yang baru melaksanakan tugas untuk pertama kali dan terjun ke medan sesulit ini.
“Pak!” Ucap seorang yang duduk di sebelah ku.
“Iya ada apa?” Jawab ku. “
“Kita akan segera mencapai daratan dan sebentar lagi pagi. Apa yang seharusnya kita lakukan nanti?” Sebuah pertanyaan yang sulit bagi seorang pemula seperti ku, wajar saja seorang yang bertanya padaku adalah prajurit berpangkat KOPRAL yang pastinya sudah fasih dalam hal menanyakan sesuatu seperti ini.
“Sesampainya di daratan, saya ingin agar kita mencari tempat beristirahat dahulu dan menyusun sebuah rencana. Oh iya satu hal lagi bisakah memanggil saya dengan menyebut nama? Panggilan ‘Pak’ terdengar aneh di kuping saya.” Balas ku dengan jujur. Memang di panggil pak oleh orang yang lebih tua membuat telinga ku merasa ngilu.
“Baiklah, SERDA Arif!” Balasnya dengan nada yang tegas, sepertinya dia adalah orang yang pantang menyerah. Baiklah, kamu berhasil memperburuk suasana.
“Sepertinya pak lebih baik.”
Sudah tiga puluh tiga tahun semenjak Presiden Ir.Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsa kita, saat itu aku belum lahir. Karena aku lahir tiga belas tahun dari peristiwa bersejarah itu. Ayah ku yang melihatnya secara langsung, menceritakannya padaku dengan menggebu – gebu ketika usia ku delapan tahun. Cerita ayah akan kehebatan bapak proklamator kita berhasil menghipnotis ku akan hal – hal yang berbau patriotisme dan pada saat itu pula tekad ku sudah ku tentukan untuk menjadi seorang prajurit.
“Pak, kita sudah sampai.” Ucap seorang anak buah ku yang mengemudikan perahu ini. Matahari sudah memancarkan sinar hangatnya ketika perahu kami menyentuh bibir pantai, segera mungkin kelompok kecil kami beranjak dari perahu dan menyusuri hutan yang sudah terpampang rapi di depan sana. “Ayo, cepat!” Pinta ku. Kami sebagai pasukan tambahan bertugas untuk membantu pasukan yang sudah berangkat lebih dulu dari kami, namun sebelum itu hal pertama yang harus kami lakukan adalah berkumpul dengan kelompok lainnya pada sebuah markas dekat kota Dili, jaraknya cukup jauh dari tempat kami berpijak kini. Jadi kemungkinan kami di serang oleh musuh saat perjalanan sangatlah besar.
“Jadi, apa rencana kita pak?” Tanya seorang anak buah ku. Tertulis nama Budi di dada bagian kirinya.
“Rencana kita sederhana, kita akan berangkat ke tempat tujuan ketika pagi dan beristirahat sebentar saat siang, kemudian melanjutkan perjalanan ketika sore hingga menjelang malam.”
“Bagaimana dengan keamanan malam hari pak?”
“Cukup dengan berjaga secara gilir. Baiklah tujuan kita adalah Kota Dili, lumayan jauh dari sini. Jika kita tidak bergegas maka kita akan tertinggal oleh yang lainnya.”
“Yah, menurut informasi terjadi perang besar di kota itu.” Balas seorang yang berjalan di belakang ku, Roni. Dialah satu – satunya prajurit berpangkat terendah di kelompok ku, balok dua merah di lengannya menandakan bahwa dia adalah seorang prajurit satu, namun pengalamannya empat tahun lebih unggul dari ku dan dialah satu – satunya anak buah ku yang masih bujang.
Kini kami memasuki pedalaman hutan, pohon – pohon besar nan rindang menyertai perjalanan kami, alunan musik dari kicauan burung hutan sedikit menenangkan rasa gelisah yang perlahan merasuki pikiran seakan berkata, “Tak akan terjadi apa – apa. Teruslah berjalan.” Sulit dipercaya pemandangan seperti ini merestui tugas kami dan aku berharap, hal seperti ini akan terus berlangsung hingga akhir nanti.
Semua berubah ketika malam tiba, hawa dingin menyengat lebih tajam dibanding panas matahari ketika siang. Suara jangkrik turut mengambil peran dalam suasana tak menyenangkan ini, nyanyian katak yang bersahutan terdengar memilkukan dan geraman sang burung hantu mengusik ketenangan.
“Apakah kita akan beristirahat di sini pak?” Tanya salah satu anggota ku yang berjalan paling depan, Eko.
“Yah, kita akan berkemah di sini. Semuanya tolong bantuannya.” Sahut ku.
Tak memakan waktu lama, tenda yang kami bangun akhirnya jadi dan masakan pun siap. Rasa senang menyeruak dalam benakku, karena berkemah adalah salah satu kegiatan kesukaan ku. Inilah kegiatan yang ku tunggu – tunggu ketika pramuka dulu, walau kini aku harus berkemah dengan keadaan yang berbeda.
“Sekarang, Pak Agus, Eko dan Roni yang jaga. Saya, Doni, Budi yang istirahat. Bangunkan kami kalau sudah empat jam lamanya.” Pinta ku, kira – kira sekarang adalah jam tujuh malam jadi tengah malam nanti mereka akan membangunkan ku. Usai makan malam kami langsung tidur untuk mengisi tenaga kami.
“Pak, pak! Bangun!” Bisik seseorang seakan menarik diriku dari jurang mimpi yang dalam, walau berat kupaksakan diriku untuk memenuhi tanggung jawab. “Yah, silahkan kalian beristirahat. Kami yang akan berjaga.” Ucap ku. Kupaksakan mata ku untuk tetap terjaga, bertahan dari serangan kantuk dan kantung mata yang terus melawan, kulihat tiga anggota ku tertidur lelap. Mereka terlalu lelah dan tak tanggung – tanggung salah satu dari mereka mendengkur pelan, “Dasar Roni.” Gumam ku.
Keadaan seperti ini terasa terlalu mulus untuk ku, apakah nasib baik sedang berpihak pada kami? Apakah tuhan mendengar tiap doa yang dipinta oleh keluarga kami? Ku harap demikian, ku harap nasib memang merestui kami dan ku harap tuhan benar – benar menjawab doa mereka.
Sudah tiga hari lamanya kami menjelajahi hutan, walau demikian perjalanan mencapai kota masih sangat jauh. Kami berjalan secara terpisah, untuk berjaga – jaga dan mengetahui tiap areal sekitar hutan belantara ini ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun, suasana tak seperti biasanya, kicauan burung sudah tak semerdu seperti awal perjalanan, apakah karena aku yang sudah mulai terbiasa dan bosan mendengarnya atau ini adalah sebuah pertanda buruk? Ketika aku bersusah payah berfikir akan hal itu sebuah suara tembakan menggema di seluruh penjuru hutan, suara panik hewan – hewan memberi koreksi dengan nilai yang sangat buruk akan pertanyaan ku. Seorang anak buah ku tertembak tepat di dadanya dan kini kepanikan menyeruak diantara kelompok kami, “Oh, tidak Roni!!” Saat kusadari suara tembakan itu mengarah kearah Roni, dia tersungkur sambil memegangi dadanya yang tak henti – henti mengeluarkan darah paru – parunya tertembak, “Semuanya, Tiarap!!” Bentak Eko ketika semua berlari menuju kearah anak malang itu, tak lebih dari sepersekian detik kami menuruti apa yang di perintahkannya. Satu hal yang dapat ku simpulkan dari peristiwa ini, kami sedang diserang. “Sepertinya musuh berasal dari arah kota, mungkin mereka sudah terkepung oleh pasukan yang bertugas di awal dan bersembunyi di sini!”  Ucap Budi, yang sedikitpun tak kusangkal. Kesimpulan cepat yang ia buat sangat masuk akal dan hanya itu kemungkinan yang mungkin terjadi saat ini. Perang untuk merebutkan Timor Timur sudah berlangsung lebih dari dua tahun sejak tahun 1975. Pasukan elit KOPASUS sudah ditugaskan di awal peperangan dan kini para infanteri seperti kamilah yang membantu menyelesaikan sisanya. Suara mesin mobil terdengar dari depan sana, ku taksir ada sekitar empat sampai lima mobil yang sedang menuju ke arah kami ditambah lagi keberadaan  salah satu anggota kami sudah diketahui. “Jumlah mereka pasti sangatlah banyak, tak mungkin kita bisa menang!!” Kata Roni masih memegangi dadanya.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan pak?” Tanya Agus.
“Apa? Tentu saja bersembunyi!” Jawab ku.
“Saya rasa kalau bersembunyi kita pasti akan ketahuan!!” Ucap Doni.
“Maksud mu?”
“Mereka mengetahui keberadaan Roni,  jika kita menyembunyikannya maka kita juga akan ketahuan!”
“Jadi, kau akan meninggalkan dia sendirian di sini?”
(Diam)
“JAWAB AKU!!”
“Tenanglah pak! Apa yang dikatakan Doni itu benar. Coba kita pikir, musuh pasti sudah mengetahui keberadaan Roni. Membawanya hanya akan menghambat waktu.”  Jawab Budi.
“BAGAIMANA BISA KAU BERKATA SEPERTI ITU!? Kau ingin dia mati?” Bentakku.
“PAK!! Saya mohon tenanglah!!”
“Bukankah kalau kita bersembunyi kita juga akan ketahuan!? AKU TAK KEBERATAN JIKA HARUS MATI DI SINI!!”
“PLAAKK!!” Roni menampar ku.
“Pak, kau hanya memikirkan diri mu sendiri. Kau tak mengerti kan? Mereka semua sudah berkeluarga! Mereka harus tetap hidup demi menghidupi keluarga mereka, pikirkan bagaimana nasib anak mereka kalau tulang punggung keluarga mereka mati!?” Ucap Roni tersengal - sengal.
“Lalu bagaimana dengan mu?” Tanya ku lirih.
“Aku tak apa – apa, lagi pula aku tak memiliki tanggungan beda dengan yang lain.”
“Kalau begitu aku akan menemani mu Roni!”
“Jangan bodoh, tanggungan mu adalah memastikan anggota mu sampai tempat tujuan! Jika kau mati, apa kau masih bisa memastikannya?” Aku terdiam ketika mendengar perkataannya yang sangat memilukan ini.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan Roni.” Balas ku sedikit menitikkan air mata.
“Aku ada rencana, kita akan mengubur diri kita tak jauh dari sini. Dengan begitu, kita tak akan perlu berlari terlalu jauh dan kita pasti akan sempat!!” Usul Budi
“Baiklah! BERGERAK!” Perintah ku.
Tak sampai lima menit, lima buah kubangan sedalam satu meter berada di hadapan kami. Satu persatu dari kami memasuki kubangan itu dan mengubur diri dibantu dengan yang lainnya dan tibalah saat ku yang terakhir memasuki kubangan, Roni dengan susah payah membantu ku untuk mengubur ku.
“Roni, pastikan bahwa kau lah yang akan membuka kubangan ini lagi.” Ucap ku pada anak buah ku yang malang itu.
“Haha.. pastikan juga kalau bapak lah yang akan menanam ku ketika keluar nanti.” Balasnya sedikit menitikkan air mata, beberapa tetes membasahi wajah ku.
“Sampaikan salam ku pada ayah dan ibu ku di rumah. Mereka pasti bangga dengan ku, mungkin idola ku Bapak Ir.Soekarno sudah menunggu kehadiran ku disana.” Sambungnya.
“Kau memiliki idola yang sama dengan ku.” Ucap ku sebelum tanah mengubur ku sepenuhnya.
Roni berjalan menuju tempat ia tertembak, bersembunyi di antara pepohonan dengan persenjataan lengkap menunggu  mobil musuh datang. Aku bisa merasakan semua itu seperti aku melihatnya dari dalam sini. Suara tembakan mulai merajai hutan belantara ini, ku pastikan kontak senjata antara Roni dengan seklompok orang itu sedang terjadi.
(Sementara itu)
Roni berhasil membunuh bererapa musuh yang berada di mobil itu, sambil terus bersembunyi di balik pepohonan. “Dor!” Seseorang menembak Roni dari depan dengan jarak yang sangat dekat, Roni tak sadar akan kedatangan orang itu.
“Jadi, selama ini kamu nyelinap ya?” Roni tergeletak tak berdaya. Senjatanya di rampas oleh pasukan musuh.
“Begitulah. Wow! Tak kusangka tembakan pertama ku mengenai paru – paru kirimu dan kau masih bisa melawan dengan keadaan seperti itu, hebat sekali tetapi serangan ku kini mengenai yang sebelah kanan juga. Tak lama lagi kau akan mati.” Ucap orang itu membungkuk melihat luka tembakan yang di terima Roni.
“Apa kau.. uhuk uhuk, apa kau pemimpin dari kelompok itu?”
“Tentu.”
“Ku beri tahu kau satu hal yang bermanfaat, jangan harap bisa membunuh seorang perajurit TNI hanya dengan menembak paru – parunya, tapi cobalah untuk menembak INI!!”
“Tseebb!!” Sebuah belati kecil menancap tepat di jantung orang itu, belati yang selama ini di sembunyikan Roni di kantung celana lorengnya. Seketika orang itu roboh disaksikan oleh kelompoknya yang kebetulan datang saat itu, tak segan anggota dari kelompok musuh melucuti Roni dengan beberapa tembakan, namun sebelum musuh menembakinya dia tersenyum puas akan sesuatu yang telah diperbuatnya. Dia sudah menjadi seorang pahlawan.
Tak kuasa aku menahan air mata ketika melihat jazat Roni yang berlubang – lubang akibat tembakan, ketika itu hari sudah sore dan musuh tak terlihat, dapat dipastikan mereka sudah melanjutkan perjalanan.
“Semua orang pasti akan mati.” Ucap Budi menenangkan ku.
“Yah, kau tahu. Nilai seseorang akan ia terima disaat – saat terakhirnya, setidaknya itulah yang dikatakan ayah ku.” Balas ku.
“Sepertinya Roni medapatkan nilai akhir yang lebih dari sempurna. Dia terlihat sangat keren dengan bekas luka itu.” Lanjut Budi.
“Kau benar Budi, kau benar.” Ucap ku tak kuasa menahan air mata.
Ini bukanlah sebuah akhir dari perjalanan kami, masih banyak halangan dan rintangan yang menunggu kami di depan sana. Aku tahu bahwa semua yang diciptakan – Nya akan kembali lagi ke sisi – Nya. Satu hal yang dapat aku pelajari dari peristiwa ini adalah, segala sesuatu membutuhkan pengorbanan, entah itu tenaga, waktu, bahkan nyawa sekalipun. Kau tak akan pernah bebas dari sebuah kekangan jika yang kau lakukan hanyalah menengadahkan tangan dan pasrah. Kau harus berjuang demi sesuatu yang ingin kau capai demi orang – orang yang mendukung mu dan demi orang yang berharga bagi mu.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar