Nilai
Akhir
(Timor
timur, 3 Januari 1978)
Hempasan angin laut malam yang
dingin menusuk kulit seakan mengincar tulang ku dan membekukannya, sebuah
sensasi yang tak mungkin ku dapat ketika di kampung halaman dulu. Begitu dingin
seakan alam benar – benar membenci ku, pakaian lengan panjang khas TNI yang ku
kenakan kini bagaikan selembar benang di buatnya. Sesekali ku tiup kedua tangan
ku untuk meringankan derita yang tak kunjung usai ini. Enam orang dengan
perlengkapan dan perbekalan dalam sebuah perahu yang tak terlalu besar, sedikit
menaruh keraguan juga dengan fasilitas transportasi ini. “Akankah benda ini
bisa membawa kami ke tempat tujuan?” Gumam ku, kurasa tak hanya beban fisik
yang menjadi kendala namun beban fikiran juga siap menghantui perjalanan ku.
Yah, aku adalah prajurit infanteri dengan pangkat tertinggi di perahu ini.
Bermodalkan pangkat SERDA (Sersan Dua) dan menanggung beban untuk mengetuai
lima orang yang kini bersama ku. Sebagian dari mereka sudah berkeluarga, hanya
aku dan seorang dari mereka yang masih bujang. Meski pangkat ku paling tinggi
namun usia ku lah yang paling muda, bahkan di hadapan bawahan ku, aku terlihat
seperti anak ingusan yang tak tahu apa – apa. Alasan mengapa hal itu bisa
terjadi adalah karena aku lulusan sekolah calon bintara dan bawahan ku adalah
prajurit tamtama. Dalam segi pengalaman aku kalah jauh dengan mereka yang sudah
mengabdi sekitar empat sampai dua belas tahun, dibanding dengan ku yang baru
melaksanakan tugas untuk pertama kali dan terjun ke medan sesulit ini.
“Pak!” Ucap seorang yang duduk di
sebelah ku.
“Iya ada apa?” Jawab ku. “
“Kita akan segera mencapai daratan
dan sebentar lagi pagi. Apa yang seharusnya kita lakukan nanti?” Sebuah
pertanyaan yang sulit bagi seorang pemula seperti ku, wajar saja seorang yang
bertanya padaku adalah prajurit berpangkat KOPRAL yang pastinya sudah fasih
dalam hal menanyakan sesuatu seperti ini.
“Sesampainya di daratan, saya ingin
agar kita mencari tempat beristirahat dahulu dan menyusun sebuah rencana. Oh
iya satu hal lagi bisakah memanggil saya dengan menyebut nama? Panggilan ‘Pak’
terdengar aneh di kuping saya.” Balas ku dengan jujur. Memang di panggil pak
oleh orang yang lebih tua membuat telinga ku merasa ngilu.
“Baiklah, SERDA Arif!” Balasnya
dengan nada yang tegas, sepertinya dia adalah orang yang pantang menyerah.
Baiklah, kamu berhasil memperburuk suasana.
“Sepertinya pak lebih baik.”
Sudah tiga puluh tiga tahun
semenjak Presiden Ir.Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsa kita,
saat itu aku belum lahir. Karena aku lahir tiga belas tahun dari peristiwa
bersejarah itu. Ayah ku yang melihatnya secara langsung, menceritakannya padaku
dengan menggebu – gebu ketika usia ku delapan tahun. Cerita ayah akan kehebatan
bapak proklamator kita berhasil menghipnotis ku akan hal – hal yang berbau
patriotisme dan pada saat itu pula tekad ku sudah ku tentukan untuk menjadi
seorang prajurit.
“Pak, kita sudah sampai.” Ucap
seorang anak buah ku yang mengemudikan perahu ini. Matahari sudah memancarkan
sinar hangatnya ketika perahu kami menyentuh bibir pantai, segera mungkin
kelompok kecil kami beranjak dari perahu dan menyusuri hutan yang sudah
terpampang rapi di depan sana. “Ayo, cepat!” Pinta ku. Kami sebagai pasukan
tambahan bertugas untuk membantu pasukan yang sudah berangkat lebih dulu dari
kami, namun sebelum itu hal pertama yang harus kami lakukan adalah berkumpul
dengan kelompok lainnya pada sebuah markas dekat kota Dili, jaraknya cukup jauh
dari tempat kami berpijak kini. Jadi kemungkinan kami di serang oleh musuh saat
perjalanan sangatlah besar.
“Jadi, apa rencana kita pak?” Tanya
seorang anak buah ku. Tertulis nama Budi di dada bagian kirinya.
“Rencana kita sederhana, kita akan
berangkat ke tempat tujuan ketika pagi dan beristirahat sebentar saat siang,
kemudian melanjutkan perjalanan ketika sore hingga menjelang malam.”
“Bagaimana dengan keamanan malam
hari pak?”
“Cukup dengan berjaga secara gilir.
Baiklah tujuan kita adalah Kota Dili, lumayan jauh dari sini. Jika kita tidak
bergegas maka kita akan tertinggal oleh yang lainnya.”
“Yah, menurut informasi terjadi
perang besar di kota itu.” Balas seorang yang berjalan di belakang ku, Roni.
Dialah satu – satunya prajurit berpangkat terendah di kelompok ku, balok dua
merah di lengannya menandakan bahwa dia adalah seorang prajurit satu, namun
pengalamannya empat tahun lebih unggul dari ku dan dialah satu – satunya anak
buah ku yang masih bujang.
Kini kami memasuki pedalaman hutan,
pohon – pohon besar nan rindang menyertai perjalanan kami, alunan musik dari
kicauan burung hutan sedikit menenangkan rasa gelisah yang perlahan merasuki
pikiran seakan berkata, “Tak akan terjadi apa – apa. Teruslah berjalan.” Sulit
dipercaya pemandangan seperti ini merestui tugas kami dan aku berharap, hal
seperti ini akan terus berlangsung hingga akhir nanti.
Semua berubah ketika malam tiba,
hawa dingin menyengat lebih tajam dibanding panas matahari ketika siang. Suara
jangkrik turut mengambil peran dalam suasana tak menyenangkan ini, nyanyian
katak yang bersahutan terdengar memilkukan dan geraman sang burung hantu
mengusik ketenangan.
“Apakah kita akan beristirahat di
sini pak?” Tanya salah satu anggota ku yang berjalan paling depan, Eko.
“Yah, kita akan berkemah di sini.
Semuanya tolong bantuannya.” Sahut ku.
Tak memakan waktu lama, tenda yang
kami bangun akhirnya jadi dan masakan pun siap. Rasa senang menyeruak dalam
benakku, karena berkemah adalah salah satu kegiatan kesukaan ku. Inilah
kegiatan yang ku tunggu – tunggu ketika pramuka dulu, walau kini aku harus
berkemah dengan keadaan yang berbeda.
“Sekarang, Pak Agus, Eko dan Roni
yang jaga. Saya, Doni, Budi yang istirahat. Bangunkan kami kalau sudah empat
jam lamanya.” Pinta ku, kira – kira sekarang adalah jam tujuh malam jadi tengah
malam nanti mereka akan membangunkan ku. Usai makan malam kami langsung tidur
untuk mengisi tenaga kami.
“Pak, pak! Bangun!” Bisik seseorang
seakan menarik diriku dari jurang mimpi yang dalam, walau berat kupaksakan
diriku untuk memenuhi tanggung jawab. “Yah, silahkan kalian beristirahat. Kami
yang akan berjaga.” Ucap ku. Kupaksakan mata ku untuk tetap terjaga, bertahan
dari serangan kantuk dan kantung mata yang terus melawan, kulihat tiga anggota
ku tertidur lelap. Mereka terlalu lelah dan tak tanggung – tanggung salah satu
dari mereka mendengkur pelan, “Dasar Roni.” Gumam ku.
Keadaan seperti ini terasa terlalu
mulus untuk ku, apakah nasib baik sedang berpihak pada kami? Apakah tuhan
mendengar tiap doa yang dipinta oleh keluarga kami? Ku harap demikian, ku harap
nasib memang merestui kami dan ku harap tuhan benar – benar menjawab doa
mereka.
Sudah tiga hari lamanya kami
menjelajahi hutan, walau demikian perjalanan mencapai kota masih sangat jauh. Kami
berjalan secara terpisah, untuk berjaga – jaga dan mengetahui tiap areal
sekitar hutan belantara ini ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun,
suasana tak seperti biasanya, kicauan burung sudah tak semerdu seperti awal
perjalanan, apakah karena aku yang sudah mulai terbiasa dan bosan mendengarnya
atau ini adalah sebuah pertanda buruk? Ketika aku bersusah payah berfikir akan
hal itu sebuah suara tembakan menggema di seluruh penjuru hutan, suara panik
hewan – hewan memberi koreksi dengan nilai yang sangat buruk akan pertanyaan
ku. Seorang anak buah ku tertembak tepat di dadanya dan kini kepanikan
menyeruak diantara kelompok kami, “Oh, tidak Roni!!” Saat kusadari suara
tembakan itu mengarah kearah Roni, dia tersungkur sambil memegangi dadanya yang
tak henti – henti mengeluarkan darah paru – parunya tertembak, “Semuanya,
Tiarap!!” Bentak Eko ketika semua berlari menuju kearah anak malang itu, tak
lebih dari sepersekian detik kami menuruti apa yang di perintahkannya. Satu hal
yang dapat ku simpulkan dari peristiwa ini, kami sedang diserang. “Sepertinya
musuh berasal dari arah kota, mungkin mereka sudah terkepung oleh pasukan yang
bertugas di awal dan bersembunyi di sini!”
Ucap Budi, yang sedikitpun tak kusangkal. Kesimpulan cepat yang ia buat
sangat masuk akal dan hanya itu kemungkinan yang mungkin terjadi saat ini.
Perang untuk merebutkan Timor Timur sudah berlangsung lebih dari dua tahun
sejak tahun 1975. Pasukan elit KOPASUS sudah ditugaskan di awal peperangan dan
kini para infanteri seperti kamilah yang membantu menyelesaikan sisanya. Suara
mesin mobil terdengar dari depan sana, ku taksir ada sekitar empat sampai lima
mobil yang sedang menuju ke arah kami ditambah lagi keberadaan salah satu anggota kami sudah diketahui.
“Jumlah mereka pasti sangatlah banyak, tak mungkin kita bisa menang!!” Kata
Roni masih memegangi dadanya.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan
pak?” Tanya Agus.
“Apa? Tentu saja bersembunyi!”
Jawab ku.
“Saya rasa kalau bersembunyi kita
pasti akan ketahuan!!” Ucap Doni.
“Maksud mu?”
“Mereka mengetahui keberadaan
Roni, jika kita menyembunyikannya maka
kita juga akan ketahuan!”
“Jadi, kau akan meninggalkan dia
sendirian di sini?”
(Diam)
“JAWAB AKU!!”
“Tenanglah pak! Apa yang dikatakan
Doni itu benar. Coba kita pikir, musuh pasti sudah mengetahui keberadaan Roni.
Membawanya hanya akan menghambat waktu.”
Jawab Budi.
“BAGAIMANA BISA KAU BERKATA SEPERTI
ITU!? Kau ingin dia mati?” Bentakku.
“PAK!! Saya mohon tenanglah!!”
“Bukankah kalau kita bersembunyi
kita juga akan ketahuan!? AKU TAK KEBERATAN JIKA HARUS MATI DI SINI!!”
“PLAAKK!!” Roni menampar ku.
“Pak, kau hanya memikirkan diri mu
sendiri. Kau tak mengerti kan? Mereka semua sudah berkeluarga! Mereka harus
tetap hidup demi menghidupi keluarga mereka, pikirkan bagaimana nasib anak
mereka kalau tulang punggung keluarga mereka mati!?” Ucap Roni tersengal -
sengal.
“Lalu bagaimana dengan mu?” Tanya
ku lirih.
“Aku tak apa – apa, lagi pula aku
tak memiliki tanggungan beda dengan yang lain.”
“Kalau begitu aku akan menemani mu
Roni!”
“Jangan bodoh, tanggungan mu adalah
memastikan anggota mu sampai tempat tujuan! Jika kau mati, apa kau masih bisa
memastikannya?” Aku terdiam ketika mendengar perkataannya yang sangat memilukan
ini.
“Baiklah, jika itu yang kau
inginkan Roni.” Balas ku sedikit menitikkan air mata.
“Aku ada rencana, kita akan
mengubur diri kita tak jauh dari sini. Dengan begitu, kita tak akan perlu
berlari terlalu jauh dan kita pasti akan sempat!!” Usul Budi
“Baiklah! BERGERAK!” Perintah ku.
Tak sampai lima menit, lima buah
kubangan sedalam satu meter berada di hadapan kami. Satu persatu dari kami
memasuki kubangan itu dan mengubur diri dibantu dengan yang lainnya dan tibalah
saat ku yang terakhir memasuki kubangan, Roni dengan susah payah membantu ku
untuk mengubur ku.
“Roni, pastikan bahwa kau lah yang
akan membuka kubangan ini lagi.” Ucap ku pada anak buah ku yang malang itu.
“Haha.. pastikan juga kalau bapak
lah yang akan menanam ku ketika keluar nanti.” Balasnya sedikit menitikkan air
mata, beberapa tetes membasahi wajah ku.
“Sampaikan salam ku pada ayah dan
ibu ku di rumah. Mereka pasti bangga dengan ku, mungkin idola ku Bapak
Ir.Soekarno sudah menunggu kehadiran ku disana.” Sambungnya.
“Kau memiliki idola yang sama
dengan ku.” Ucap ku sebelum tanah mengubur ku sepenuhnya.
Roni berjalan menuju tempat ia
tertembak, bersembunyi di antara pepohonan dengan persenjataan lengkap
menunggu mobil musuh datang. Aku bisa
merasakan semua itu seperti aku melihatnya dari dalam sini. Suara tembakan
mulai merajai hutan belantara ini, ku pastikan kontak senjata antara Roni
dengan seklompok orang itu sedang terjadi.
(Sementara itu)
Roni berhasil membunuh bererapa
musuh yang berada di mobil itu, sambil terus bersembunyi di balik pepohonan.
“Dor!” Seseorang menembak Roni dari depan dengan jarak yang sangat dekat, Roni
tak sadar akan kedatangan orang itu.
“Jadi, selama ini kamu nyelinap
ya?” Roni tergeletak tak berdaya. Senjatanya di rampas oleh pasukan musuh.
“Begitulah. Wow! Tak kusangka
tembakan pertama ku mengenai paru – paru kirimu dan kau masih bisa melawan
dengan keadaan seperti itu, hebat sekali tetapi serangan ku kini mengenai yang
sebelah kanan juga. Tak lama lagi kau akan mati.” Ucap orang itu membungkuk
melihat luka tembakan yang di terima Roni.
“Apa kau.. uhuk uhuk, apa kau
pemimpin dari kelompok itu?”
“Tentu.”
“Ku beri tahu kau satu hal yang
bermanfaat, jangan harap bisa membunuh seorang perajurit TNI hanya dengan
menembak paru – parunya, tapi cobalah untuk menembak INI!!”
“Tseebb!!” Sebuah belati kecil
menancap tepat di jantung orang itu, belati yang selama ini di sembunyikan Roni
di kantung celana lorengnya. Seketika orang itu roboh disaksikan oleh
kelompoknya yang kebetulan datang saat itu, tak segan anggota dari kelompok
musuh melucuti Roni dengan beberapa tembakan, namun sebelum musuh menembakinya
dia tersenyum puas akan sesuatu yang telah diperbuatnya. Dia sudah menjadi
seorang pahlawan.
Tak kuasa aku menahan air mata
ketika melihat jazat Roni yang berlubang – lubang akibat tembakan, ketika itu
hari sudah sore dan musuh tak terlihat, dapat dipastikan mereka sudah
melanjutkan perjalanan.
“Semua orang pasti akan mati.” Ucap
Budi menenangkan ku.
“Yah, kau tahu. Nilai seseorang
akan ia terima disaat – saat terakhirnya, setidaknya itulah yang dikatakan ayah
ku.” Balas ku.
“Sepertinya Roni medapatkan nilai
akhir yang lebih dari sempurna. Dia terlihat sangat keren dengan bekas luka
itu.” Lanjut Budi.
“Kau benar Budi, kau benar.” Ucap
ku tak kuasa menahan air mata.
Ini bukanlah sebuah akhir dari
perjalanan kami, masih banyak halangan dan rintangan yang menunggu kami di
depan sana. Aku tahu bahwa semua yang diciptakan – Nya akan kembali lagi ke
sisi – Nya. Satu hal yang dapat aku pelajari dari peristiwa ini adalah, segala
sesuatu membutuhkan pengorbanan, entah itu tenaga, waktu, bahkan nyawa
sekalipun. Kau tak akan pernah bebas dari sebuah kekangan jika yang kau lakukan
hanyalah menengadahkan tangan dan pasrah. Kau harus berjuang demi sesuatu yang
ingin kau capai demi orang – orang yang mendukung mu dan demi orang yang
berharga bagi mu.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar