Minggu, 05 Juli 2015

Creepy pasta

Creepy pasta (ori)

Ini adalah sebuah legenda yang sudah dikenal turun temurun oleh orang indonesia. Percaya atau tidak itu terserah anda, namun ketika anda mengalaminya mohon untuk selalu mawas diri.

Jadi begini, ketika anda tiba tiba berada dalam lingkungan yang tak anda kenal dan saat itu anda kebelet pipis, cobalah untuk menahannya. Dan jika anda menemukan sebuah toilet pada saat itu, dengan tegas saya katakan "JANGAN PIPIS DI SANA!" sebab anda akan menyesali hidup anda besok paginya.

Tamat

Selasa, 12 Mei 2015

Nilai Akhir (sebuah perjalanan seorang serda)

Nilai Akhir
            (Timor timur, 3 Januari 1978)
Hempasan angin laut malam yang dingin menusuk kulit seakan mengincar tulang ku dan membekukannya, sebuah sensasi yang tak mungkin ku dapat ketika di kampung halaman dulu. Begitu dingin seakan alam benar – benar membenci ku, pakaian lengan panjang khas TNI yang ku kenakan kini bagaikan selembar benang di buatnya. Sesekali ku tiup kedua tangan ku untuk meringankan derita yang tak kunjung usai ini. Enam orang dengan perlengkapan dan perbekalan dalam sebuah perahu yang tak terlalu besar, sedikit menaruh keraguan juga dengan fasilitas transportasi ini. “Akankah benda ini bisa membawa kami ke tempat tujuan?” Gumam ku, kurasa tak hanya beban fisik yang menjadi kendala namun beban fikiran juga siap menghantui perjalanan ku. Yah, aku adalah prajurit infanteri dengan pangkat tertinggi di perahu ini. Bermodalkan pangkat SERDA (Sersan Dua) dan menanggung beban untuk mengetuai lima orang yang kini bersama ku. Sebagian dari mereka sudah berkeluarga, hanya aku dan seorang dari mereka yang masih bujang. Meski pangkat ku paling tinggi namun usia ku lah yang paling muda, bahkan di hadapan bawahan ku, aku terlihat seperti anak ingusan yang tak tahu apa – apa. Alasan mengapa hal itu bisa terjadi adalah karena aku lulusan sekolah calon bintara dan bawahan ku adalah prajurit tamtama. Dalam segi pengalaman aku kalah jauh dengan mereka yang sudah mengabdi sekitar empat sampai dua belas tahun, dibanding dengan ku yang baru melaksanakan tugas untuk pertama kali dan terjun ke medan sesulit ini.
“Pak!” Ucap seorang yang duduk di sebelah ku.
“Iya ada apa?” Jawab ku. “
“Kita akan segera mencapai daratan dan sebentar lagi pagi. Apa yang seharusnya kita lakukan nanti?” Sebuah pertanyaan yang sulit bagi seorang pemula seperti ku, wajar saja seorang yang bertanya padaku adalah prajurit berpangkat KOPRAL yang pastinya sudah fasih dalam hal menanyakan sesuatu seperti ini.
“Sesampainya di daratan, saya ingin agar kita mencari tempat beristirahat dahulu dan menyusun sebuah rencana. Oh iya satu hal lagi bisakah memanggil saya dengan menyebut nama? Panggilan ‘Pak’ terdengar aneh di kuping saya.” Balas ku dengan jujur. Memang di panggil pak oleh orang yang lebih tua membuat telinga ku merasa ngilu.
“Baiklah, SERDA Arif!” Balasnya dengan nada yang tegas, sepertinya dia adalah orang yang pantang menyerah. Baiklah, kamu berhasil memperburuk suasana.
“Sepertinya pak lebih baik.”
Sudah tiga puluh tiga tahun semenjak Presiden Ir.Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsa kita, saat itu aku belum lahir. Karena aku lahir tiga belas tahun dari peristiwa bersejarah itu. Ayah ku yang melihatnya secara langsung, menceritakannya padaku dengan menggebu – gebu ketika usia ku delapan tahun. Cerita ayah akan kehebatan bapak proklamator kita berhasil menghipnotis ku akan hal – hal yang berbau patriotisme dan pada saat itu pula tekad ku sudah ku tentukan untuk menjadi seorang prajurit.
“Pak, kita sudah sampai.” Ucap seorang anak buah ku yang mengemudikan perahu ini. Matahari sudah memancarkan sinar hangatnya ketika perahu kami menyentuh bibir pantai, segera mungkin kelompok kecil kami beranjak dari perahu dan menyusuri hutan yang sudah terpampang rapi di depan sana. “Ayo, cepat!” Pinta ku. Kami sebagai pasukan tambahan bertugas untuk membantu pasukan yang sudah berangkat lebih dulu dari kami, namun sebelum itu hal pertama yang harus kami lakukan adalah berkumpul dengan kelompok lainnya pada sebuah markas dekat kota Dili, jaraknya cukup jauh dari tempat kami berpijak kini. Jadi kemungkinan kami di serang oleh musuh saat perjalanan sangatlah besar.
“Jadi, apa rencana kita pak?” Tanya seorang anak buah ku. Tertulis nama Budi di dada bagian kirinya.
“Rencana kita sederhana, kita akan berangkat ke tempat tujuan ketika pagi dan beristirahat sebentar saat siang, kemudian melanjutkan perjalanan ketika sore hingga menjelang malam.”
“Bagaimana dengan keamanan malam hari pak?”
“Cukup dengan berjaga secara gilir. Baiklah tujuan kita adalah Kota Dili, lumayan jauh dari sini. Jika kita tidak bergegas maka kita akan tertinggal oleh yang lainnya.”
“Yah, menurut informasi terjadi perang besar di kota itu.” Balas seorang yang berjalan di belakang ku, Roni. Dialah satu – satunya prajurit berpangkat terendah di kelompok ku, balok dua merah di lengannya menandakan bahwa dia adalah seorang prajurit satu, namun pengalamannya empat tahun lebih unggul dari ku dan dialah satu – satunya anak buah ku yang masih bujang.
Kini kami memasuki pedalaman hutan, pohon – pohon besar nan rindang menyertai perjalanan kami, alunan musik dari kicauan burung hutan sedikit menenangkan rasa gelisah yang perlahan merasuki pikiran seakan berkata, “Tak akan terjadi apa – apa. Teruslah berjalan.” Sulit dipercaya pemandangan seperti ini merestui tugas kami dan aku berharap, hal seperti ini akan terus berlangsung hingga akhir nanti.
Semua berubah ketika malam tiba, hawa dingin menyengat lebih tajam dibanding panas matahari ketika siang. Suara jangkrik turut mengambil peran dalam suasana tak menyenangkan ini, nyanyian katak yang bersahutan terdengar memilkukan dan geraman sang burung hantu mengusik ketenangan.
“Apakah kita akan beristirahat di sini pak?” Tanya salah satu anggota ku yang berjalan paling depan, Eko.
“Yah, kita akan berkemah di sini. Semuanya tolong bantuannya.” Sahut ku.
Tak memakan waktu lama, tenda yang kami bangun akhirnya jadi dan masakan pun siap. Rasa senang menyeruak dalam benakku, karena berkemah adalah salah satu kegiatan kesukaan ku. Inilah kegiatan yang ku tunggu – tunggu ketika pramuka dulu, walau kini aku harus berkemah dengan keadaan yang berbeda.
“Sekarang, Pak Agus, Eko dan Roni yang jaga. Saya, Doni, Budi yang istirahat. Bangunkan kami kalau sudah empat jam lamanya.” Pinta ku, kira – kira sekarang adalah jam tujuh malam jadi tengah malam nanti mereka akan membangunkan ku. Usai makan malam kami langsung tidur untuk mengisi tenaga kami.
“Pak, pak! Bangun!” Bisik seseorang seakan menarik diriku dari jurang mimpi yang dalam, walau berat kupaksakan diriku untuk memenuhi tanggung jawab. “Yah, silahkan kalian beristirahat. Kami yang akan berjaga.” Ucap ku. Kupaksakan mata ku untuk tetap terjaga, bertahan dari serangan kantuk dan kantung mata yang terus melawan, kulihat tiga anggota ku tertidur lelap. Mereka terlalu lelah dan tak tanggung – tanggung salah satu dari mereka mendengkur pelan, “Dasar Roni.” Gumam ku.
Keadaan seperti ini terasa terlalu mulus untuk ku, apakah nasib baik sedang berpihak pada kami? Apakah tuhan mendengar tiap doa yang dipinta oleh keluarga kami? Ku harap demikian, ku harap nasib memang merestui kami dan ku harap tuhan benar – benar menjawab doa mereka.
Sudah tiga hari lamanya kami menjelajahi hutan, walau demikian perjalanan mencapai kota masih sangat jauh. Kami berjalan secara terpisah, untuk berjaga – jaga dan mengetahui tiap areal sekitar hutan belantara ini ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun, suasana tak seperti biasanya, kicauan burung sudah tak semerdu seperti awal perjalanan, apakah karena aku yang sudah mulai terbiasa dan bosan mendengarnya atau ini adalah sebuah pertanda buruk? Ketika aku bersusah payah berfikir akan hal itu sebuah suara tembakan menggema di seluruh penjuru hutan, suara panik hewan – hewan memberi koreksi dengan nilai yang sangat buruk akan pertanyaan ku. Seorang anak buah ku tertembak tepat di dadanya dan kini kepanikan menyeruak diantara kelompok kami, “Oh, tidak Roni!!” Saat kusadari suara tembakan itu mengarah kearah Roni, dia tersungkur sambil memegangi dadanya yang tak henti – henti mengeluarkan darah paru – parunya tertembak, “Semuanya, Tiarap!!” Bentak Eko ketika semua berlari menuju kearah anak malang itu, tak lebih dari sepersekian detik kami menuruti apa yang di perintahkannya. Satu hal yang dapat ku simpulkan dari peristiwa ini, kami sedang diserang. “Sepertinya musuh berasal dari arah kota, mungkin mereka sudah terkepung oleh pasukan yang bertugas di awal dan bersembunyi di sini!”  Ucap Budi, yang sedikitpun tak kusangkal. Kesimpulan cepat yang ia buat sangat masuk akal dan hanya itu kemungkinan yang mungkin terjadi saat ini. Perang untuk merebutkan Timor Timur sudah berlangsung lebih dari dua tahun sejak tahun 1975. Pasukan elit KOPASUS sudah ditugaskan di awal peperangan dan kini para infanteri seperti kamilah yang membantu menyelesaikan sisanya. Suara mesin mobil terdengar dari depan sana, ku taksir ada sekitar empat sampai lima mobil yang sedang menuju ke arah kami ditambah lagi keberadaan  salah satu anggota kami sudah diketahui. “Jumlah mereka pasti sangatlah banyak, tak mungkin kita bisa menang!!” Kata Roni masih memegangi dadanya.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan pak?” Tanya Agus.
“Apa? Tentu saja bersembunyi!” Jawab ku.
“Saya rasa kalau bersembunyi kita pasti akan ketahuan!!” Ucap Doni.
“Maksud mu?”
“Mereka mengetahui keberadaan Roni,  jika kita menyembunyikannya maka kita juga akan ketahuan!”
“Jadi, kau akan meninggalkan dia sendirian di sini?”
(Diam)
“JAWAB AKU!!”
“Tenanglah pak! Apa yang dikatakan Doni itu benar. Coba kita pikir, musuh pasti sudah mengetahui keberadaan Roni. Membawanya hanya akan menghambat waktu.”  Jawab Budi.
“BAGAIMANA BISA KAU BERKATA SEPERTI ITU!? Kau ingin dia mati?” Bentakku.
“PAK!! Saya mohon tenanglah!!”
“Bukankah kalau kita bersembunyi kita juga akan ketahuan!? AKU TAK KEBERATAN JIKA HARUS MATI DI SINI!!”
“PLAAKK!!” Roni menampar ku.
“Pak, kau hanya memikirkan diri mu sendiri. Kau tak mengerti kan? Mereka semua sudah berkeluarga! Mereka harus tetap hidup demi menghidupi keluarga mereka, pikirkan bagaimana nasib anak mereka kalau tulang punggung keluarga mereka mati!?” Ucap Roni tersengal - sengal.
“Lalu bagaimana dengan mu?” Tanya ku lirih.
“Aku tak apa – apa, lagi pula aku tak memiliki tanggungan beda dengan yang lain.”
“Kalau begitu aku akan menemani mu Roni!”
“Jangan bodoh, tanggungan mu adalah memastikan anggota mu sampai tempat tujuan! Jika kau mati, apa kau masih bisa memastikannya?” Aku terdiam ketika mendengar perkataannya yang sangat memilukan ini.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan Roni.” Balas ku sedikit menitikkan air mata.
“Aku ada rencana, kita akan mengubur diri kita tak jauh dari sini. Dengan begitu, kita tak akan perlu berlari terlalu jauh dan kita pasti akan sempat!!” Usul Budi
“Baiklah! BERGERAK!” Perintah ku.
Tak sampai lima menit, lima buah kubangan sedalam satu meter berada di hadapan kami. Satu persatu dari kami memasuki kubangan itu dan mengubur diri dibantu dengan yang lainnya dan tibalah saat ku yang terakhir memasuki kubangan, Roni dengan susah payah membantu ku untuk mengubur ku.
“Roni, pastikan bahwa kau lah yang akan membuka kubangan ini lagi.” Ucap ku pada anak buah ku yang malang itu.
“Haha.. pastikan juga kalau bapak lah yang akan menanam ku ketika keluar nanti.” Balasnya sedikit menitikkan air mata, beberapa tetes membasahi wajah ku.
“Sampaikan salam ku pada ayah dan ibu ku di rumah. Mereka pasti bangga dengan ku, mungkin idola ku Bapak Ir.Soekarno sudah menunggu kehadiran ku disana.” Sambungnya.
“Kau memiliki idola yang sama dengan ku.” Ucap ku sebelum tanah mengubur ku sepenuhnya.
Roni berjalan menuju tempat ia tertembak, bersembunyi di antara pepohonan dengan persenjataan lengkap menunggu  mobil musuh datang. Aku bisa merasakan semua itu seperti aku melihatnya dari dalam sini. Suara tembakan mulai merajai hutan belantara ini, ku pastikan kontak senjata antara Roni dengan seklompok orang itu sedang terjadi.
(Sementara itu)
Roni berhasil membunuh bererapa musuh yang berada di mobil itu, sambil terus bersembunyi di balik pepohonan. “Dor!” Seseorang menembak Roni dari depan dengan jarak yang sangat dekat, Roni tak sadar akan kedatangan orang itu.
“Jadi, selama ini kamu nyelinap ya?” Roni tergeletak tak berdaya. Senjatanya di rampas oleh pasukan musuh.
“Begitulah. Wow! Tak kusangka tembakan pertama ku mengenai paru – paru kirimu dan kau masih bisa melawan dengan keadaan seperti itu, hebat sekali tetapi serangan ku kini mengenai yang sebelah kanan juga. Tak lama lagi kau akan mati.” Ucap orang itu membungkuk melihat luka tembakan yang di terima Roni.
“Apa kau.. uhuk uhuk, apa kau pemimpin dari kelompok itu?”
“Tentu.”
“Ku beri tahu kau satu hal yang bermanfaat, jangan harap bisa membunuh seorang perajurit TNI hanya dengan menembak paru – parunya, tapi cobalah untuk menembak INI!!”
“Tseebb!!” Sebuah belati kecil menancap tepat di jantung orang itu, belati yang selama ini di sembunyikan Roni di kantung celana lorengnya. Seketika orang itu roboh disaksikan oleh kelompoknya yang kebetulan datang saat itu, tak segan anggota dari kelompok musuh melucuti Roni dengan beberapa tembakan, namun sebelum musuh menembakinya dia tersenyum puas akan sesuatu yang telah diperbuatnya. Dia sudah menjadi seorang pahlawan.
Tak kuasa aku menahan air mata ketika melihat jazat Roni yang berlubang – lubang akibat tembakan, ketika itu hari sudah sore dan musuh tak terlihat, dapat dipastikan mereka sudah melanjutkan perjalanan.
“Semua orang pasti akan mati.” Ucap Budi menenangkan ku.
“Yah, kau tahu. Nilai seseorang akan ia terima disaat – saat terakhirnya, setidaknya itulah yang dikatakan ayah ku.” Balas ku.
“Sepertinya Roni medapatkan nilai akhir yang lebih dari sempurna. Dia terlihat sangat keren dengan bekas luka itu.” Lanjut Budi.
“Kau benar Budi, kau benar.” Ucap ku tak kuasa menahan air mata.
Ini bukanlah sebuah akhir dari perjalanan kami, masih banyak halangan dan rintangan yang menunggu kami di depan sana. Aku tahu bahwa semua yang diciptakan – Nya akan kembali lagi ke sisi – Nya. Satu hal yang dapat aku pelajari dari peristiwa ini adalah, segala sesuatu membutuhkan pengorbanan, entah itu tenaga, waktu, bahkan nyawa sekalipun. Kau tak akan pernah bebas dari sebuah kekangan jika yang kau lakukan hanyalah menengadahkan tangan dan pasrah. Kau harus berjuang demi sesuatu yang ingin kau capai demi orang – orang yang mendukung mu dan demi orang yang berharga bagi mu.

Tamat

Selasa, 07 Oktober 2014

Ayah Jangan Jual Sawah Kita (Cerpen Mading)

Ayah Jangan Jual Sawah Kita

Menjadi lulusan terbaik bukanlah akhir maupun hasil yang ku dapat dari apa yang telah ku  lakukan selama ini. Walau tak sedikit biaya, waktu dan tenaga yang ku keluarkan demi itu, namun hal tersebut bukanlah sebuah hal yang patut di banggakan, karena kehidupan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.
            Nama ku Roni, aku baru saja tamat kuliah. Jurusan yang ku ambil adalah jurusan pertanian dan fokusnya adalah perbisnisan, walau tak pernah memegang uang banyak namun menghitung adalah kegemaran ku. Kenangan akan pelemparan topi wisuda masih terngiang – ngiang dibenakku, ah betapa bahagianya saat – saat itu, kini seluruh pengabdian ku selama beberapa tahun belakangan baru akan bisa ku buktikan dan akan ku buat diriku untuk melangkah lebih maju. Aku adalah anak semata wayang dari keluarga petani sederhana di desa, ayah ku setiap harinya hanya menghabiskan waktu berkebun dan bercocok tanam di ladang sedangkan ibu ku hanya tergeletak tak berdaya di rumah, kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat di ladang beberapa tahun yang lalu, mengapa tak dibawak ke rumah sakit? Jika kami punya uang yang banyak kami pasti sudah melakukannya. Mengingat keadaan keluarga ku saja sudah membuat ku menitihkan air mata, namun aku tak boleh menyerah akan ku buat keadaan terpuruk keluarga ku sebagai alasan mengapa aku harus merantau ke kota dan menuntut ilmu demi hal tersebut.
            Sekarang aku berada di terminal, sudah kuputuskan sejak awal untuk segera mungkin balik ke desa begitu kuliah ku selesai. Seperti biasa aku selalu tertidur ketika sedang berada di bis, jika aku terjaga yang akan terjadi malah akan semakin buruk, karena aku mabuk perjalanan terutama jalanan di kota, penuh asap kendaraan, suara bising dari klakson, pedagang yang sesekali seenaknya masuk ke bis dan berteriak menjual dagangannya dan pemandangan gedung – gedung yang sangat tinggi hanya membuat kepalaku bertambah pusing, aku tahu itu adalah hal wajar yang terjadi di kota dan aku sudah sering mengalaminya beberapa tahun belakangan ini namun aku tetap tak terbiasa dengan keadaan perjalanan seperti ini.
            Beberapa jam di perjalanan akhirnya aku terbangun, seharusnya aku sudah bisa melihat beberapa petak sawah dari dalam bis ini, namun sampai saat ini belum mungkin rasanya jika aku masih belum sampai di kawasan pedesaan, waktu demi waktu berlalu tetapi entah mengapa aku tak melihat sepetak sawah pun, hanya bangunan – bangunan rumah dan ruko kecil yang kulihat sejauh ini. “Apa ini? bukankah seharusnya jalan ini berada diantara petak sawah? Atau aku salah naik bis?” Gumam ku. Ku putuskan untuk membuang rasa penasaran ku dan bertanya kepada kernet yang sedari tadi duduk manis di depan, “Adik tidak salah naik bis kok.” Jawabnya singkat namun penuh dengan arti yang sangat dalam, mendengar jawaban darinya kuputuskan untuk duduk kembali dan memikirkan dalam – dalam apa yang sebenarnya terjadi, “Seharusnya di sana ada pohon beringin yang besar.” Gumam ku ketika bis yang ku tumpangi melewati sebuah rumah bertingkat, pemandangan itu membuat ku berpikir lebih keras hingga membuat kepalaku pusing sendiri namun sekarang sudah menuju pada sebuah kesimpulan, yaitu “Alih fungsi lahan.” Ucap ku.
            Tanah yang seharusnya digunakan petani desa untuk menanam padi dan sayuran kini berganti menjadi beton, “Apakah kalian akan memanen beton tersebut? Atau kalian akan memakannya?” Pikir ku sinis akan kekecewaan ku terhadap penduduk di desa. Kekesalan ku memuncak ketika melihat ayah ku sedang berunding dengan seorang pria ber jas hitam lengkap dengan kaca mata dan tas koper pada genggamannya, segera mungkin aku berlari kearahnya dan berteriak, “Ayah jangan jual sawah kita!!” mendengar teriakan ku tubuh ayah mulai gemetar dan memalingkan wajahnya ke arah ku mulutnya menganga dan matanya mulai berair, “Roni!” Ucapnya ketika tubuhnya berada dalam pelukan ku, “Ku mohon ayah, jangan jual sawah yang kita miliki. Bukankah ayah makan dari sana? Ingatkah ayah ketika kita bermain bersama di sana? Dan bukankah dari sawah itu juga biaya pendidikan ku berasal? Jadi kumohon jangan buang satu – satunya harta yang kita miliki.” Ucap ku padanya, kurasakan bibir ku bergetar. Ku akui aku sangat takut kehilangan sawah ku, penghidupan ku sebagai seorang anak petani. “Jadi bagai mana pak? Apa bisa saya beli tanah ini?” Tanya pria berjas hitam itu. “Maaf pak, saya urungkan niat saya untuk menjualnya.” Balas ayah dengan pelukannya yang semakin kuat mencengkram tubuh ku. “Baiklah.” Pria itu menginggalkan ku dan ayah dengan sedikit kekesalan yang tertoreh di wajahnya. Aku akan melindungi tanah ku, apapun yang terjadi akan kubuktikan bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan yang patut untuk diremehkan.
            “Mengapa ayah mau menjual tanah kita?” Tanya ku sesampainya di dalam rumah. “Karena kita perlu uang nak untuk pengobatan ibu mu.” Jawabnya dengan nada yang sedikit menyesal. “Apakah ayah sedang terbelit hutang atau yang lainnya?” Tanya ku balik, “Tentu saja tidak, seburuk apapun kondisi keuangan ayah. Ayah tidak akan meminjam uang jika ayah tak bisa membayarnya.” Aku menyukai sifat ayah yang satu ini, meminjam tanpa mengembalikan bukanlah suatu hal yang dapat ditiru, itu adalah sifat tak bertanggung jawab dan aku ingin menjadi lelaki yang bertanggung jawab untuk diriku keluargaku dan masyarakat. “Jadi bagaimana?” Tanya ayah padaku. “Tenang saja, aku sudah mendapatkan ilmu yang cukup untuk membangun sebuah usaha demi menyelamatkan tanah kita, dan mari kita mulai semua dari hal yang paling kecil dahulu, mari kita kembang biakkan tanaman ini dahulu.” Ku keluarkan bibit tanaman anggrek yang sedari tadi terbungkus dengan tas kresek oleh ku. “Dari mana kau mendapatkannya nak?” “Ini kudapatkan dari salah seorang dosen ku, dia memberi ku ini karena menurutnya nilai ku bagus – bagus. Yah, aku berjuang demi yang terbaik di sana.” “Ayah bangga pada mu nak.” “Sekarang bukanlah saatnya untuk berbangga diri ayah, hal yang sebenarnya baru saja akan dimulai dari detik ini dan kita akan berjuang demi yang terbaik dan demi ibu juga. Oh iya ibu dimana?” “Ibu sedang tidur di kamar, mau lihat?” “Pasti!”
            Terlihat sosok wanita tua yang sangat ku kenal wajahnya sedang tidur nyenyak ketika ku masuki ruangan penuh kenangan ini tubuhnya lemah, kulitnya penuh keriput, rambutnya putih, seluruh perawakannya tak jauh beda dengan pria yang kini berdiri di sebelah ku, ayah. Ya ini adalah kamar orang tua ku, kamar yang membuatku tidur lebih baik ketika aku takut untuk tidur sendiri, biasanya hal ini terjadi jika Budi teman kecil ku mulai bercerita tentang hantu saat kami bosan bermain. Tanpa terasa air mata ku mulai mengalir kembali, memori indah masa kecil ku terputar kembali dalam benakku bagai kaset kusam yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam, membawa ku kembali pada kenangan – kenangan indah pada ruangan pada rumah tua ini. “Ibu, aku pulang.” Ucap ku. “Roni? Kau kah itu?” Tanya nya. “Iya bu, ini aku Roni.” Jawab ku. “Kau tahu? Berapa lama ibu menunggu mu nak?” Tanya ibu kembali. “Maafkan aku telah meninggalkan ibu dengan waktu yang sangat lama.” Jawab ku dengan air mata yang kembali membasahi pipi, sejak kapan aku menjadi secengeng ini? “Haha, ibu tak apa – apa nak, hanya saja ibu terlalu senang masih sempat untuk bertemu dengan mu lagi. Karena, waktu ibu sudah tak banyak. Uhuk uhuk.” “Ah!? Maksud ibu?” Perkataan ibu barusan membuat ku sedikit kecewa dan geram. “ “Yah, jaga anak kita ya.” Ucap ibu, suaranya menjadi semakin kecil. “Ayah!? Apa maksud dari semua ini!? Ayah!?” Ayah memalingkan wajahnya, terlihat raut kesedihan di balik gambaran ekspresi itu. Apakah ini yang di sebut dengan akhir? Dan saat kutoleh ibu, dia sudah tak berbicara bibirnya tertutup rapat tak kalah rapat dengan matanya tangannya menggenggam ku dan dia sudah benar – benar tertidur, dia akan tertidur dalam waktu yang sangat lama dan itu membuat ku sangat sedih terutama karena aku tak sempat mengatakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya.
            Aku tak habis pikir, ketika ayah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Ibu berjuang menahan rasa sakitnya dan menekan seluruh biaya pengobatan demi biaya sekolah ku, karenanya penyakit ibu menjadi semakin parah dan karena itulah ayah ingin menjual tanah kita. Sungguh berat perjuangan kedua orang tua ku, aku tak menyangka kepergian ku membuat keadaan menjadi seperti ini, tekad ku semakin kuat untuk merubah nasib keterpurukan keluarga ku, lihat saja nanti akan ku buktikan petani juga bisa memakai jas seperti makelar tanah kemarin.
            “Lalu, berapa orang petani yang masih bertahan dengan lahan sawah mereka yah?” tanya ku, “Um, sekitar 75 orang.” Jawabnya. “Ugh! Sedikit sekali? Tidak apa – apa, apakah lahan mereka masih aktif? Maksud ku masih bisa panen dengan hasil yang bagus.” Tanya ku lagi, “Ya, lahan mereka masih bisa menghasilkan, tanah mereka masih gembur dan hidup mereka ditaruhkan pada tanah itu.” “Baiklah kurasa itu cukup.” Jawab ku sambil membuka tas besar yang ku miliki, “Ini aku memiliki sejumlah uang, selama di kota aku bekerja sambilan, mengajar les, menjadi karyawan honorer dan masih banyak lagi. Jadi rencana ku sekarang adalah membeli seluruh hasil panen para petani dan menjualnya ke kota.” “Lalu bagaimana kau akan membawanya?” “Mang Hidin masih memiliki mobil truknya kan? Kita akan sewa itu beserta supirnya, kemudian akan ku jual dengan seorang bos super market dengan harga tipis di atas modal, hasil penjualan dari pembelian panen petani akan kita putar menjadi modal untuk terus membeli panen mereka dan keuntungan tipisnya akan kita pakai untuk biaya sewa mobil supir beserta buruhnya.” Jelas ku, “Lalu bagaimana dengan keuntungan kita?” “Aku tadi menjelaskan bahwa yang kita pergunakan adalah hasil penjualan dari panen petani, bagaimana dengan panen kita sendiri? Panen kita sendiri itulah keuntungan kita ayah dan apakah ayah tahu? Sisa uang dari ongkos mobil supir dan buruh bisa kita gunakan untuk keperluan tani kita.” Mendengar penjelasan panjang lebar ku mata ayah terbuka dan berbinar. “Kau benar nak! Kau benar!!” Ucapnya bersemangat, “Tetapi, untuk sementara ini apakah ayah masih kuat bertani?” Tanya ku, “Tentu saja! Ayah masih kuat!!.” “Aku akan jamin, kita hanya akan bertani pada awal panen, sisanya? Tidak! Aku tak ingin ayah kelelahan, kita akan gunakan keuntungan kita untuk menyewa petani garapan, sementara waktu ayo kita olah lahan pertanian kita. Oh iya, seiring berjalannya waktu aku akan mengembangkan tanaman anggrek yang ku bawa karena ini akan menjadi modal tambahan untuk usaha kita ayah. Ayah tahu, kalau harga tanaman hias seperti ini sangat mahal jika kita menjualnya di kota. Mari kita berjuang ayah!” Ucap ku menggebu – gebu yang kemudian dibalas ayah dengan anggukan yang mantap.
            Keringat bercucuran pada leher dan kening pria tua yang kini sedang berbungkuk di hadapan ku, wajahnya yang semakin lama mulai kusam dan penuh keriput itu menyadarkan ku bahwa setiap manusia akan mengalami hal yang sama karena waktu terus berputar tak peduli apapun yang terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya ataupun memutarnya balik terlebih lagi untuk mengulangnya mengulangnya, apakah waktu seegois itu? Kurasa jawabannya iya, waktu memang sesuatu yang egois, waktu lah yang menyebabkan kematian ibu dan karena waktu lah aku harus merasakan sakit akan pedihnya kehilangan. Masih tertuju pandangan ku terhadap pria tua di hadapan ku, dari raut wajahnya dia terlihat sangat kelelahan tetapi ekspresinya menunjukkan sebuah kebahagiaan. “Ayah apa yang sedang ayah pikirkan?” tanya ku, “Tidak, hanya saja ayah sangat senang kau membantu ayah bekerja di sawah.” Jawabnya, “Tentu saja aku akan membantu ayah, aku kan anak ayah.” “Hahaha, maksud dari perkataan ayah bukan untuk menyindir mu, hanya saja selama ini ayah bekerja sendiri sebelum hal yang buruk terjadi pada ibu mu, ayah sangat merindukannya nak.” Ucapnya dengan nada suara yang sedikit bergetar, dia pasti sedang merasa sedih, “Aku juga  merindukan ibu yah, sangat merindukannya. Tetapi ayah tak perlu cemas, karena sekarang aku berada disisi ayah, bersama kita berdua akan merubah nasib dan nasib para petani di desa ini dan menekan usaha para makelar tanah itu dalam usahanya untuk mengubah alih fungsi lahan! Kita akan pertahankan tanah hijau desa kita, bersama – sama ayah kau dan aku anak mu.” “Ya, kau benar nak!” Ucap ayah dengan tangannya terkepal tanda jiwa kini dengan penuh semangat.
            Daun – daun padi semakin menguning dan burung – burung nakal mulai berterbangan hampir di setiap petak sawah adalah pertanda bahwa sebentar lagi waktu panen tiba, perasaan ku mulai semangat dan terus bertambah semangat seiring bergantinya hari mengingat pengorbanan ku selama bertahun – tahun ini akan mencapai puncaknya dan pertaruhan ku dengan waktu akan menuai hasil, ku langkahkan kaki dengan semangat dan mantap menuju sawah pagi itu menghirup udara segar sebanyak dan sedalam mungkin mengingat hal ini akan menjadi luar biasa, namun di tengah kegembiraan ku sosok ayah tak urung jua keluar dari rumah, mungkin dia terlalu lelah. Baiklah, akan ku selesaikan pekerjaan hari ini sendiri. Hari berganti siang berlanjut sore, namun ayah belum juga keluar dari kamarnya. Kuputuskan untuk segera mungkin menyelesaikan pekerjaan ku dan melihat kondisi ayah, benar saja ayah masih berbaring di atas tempat tidur, badannya berkeringat dan tubuhnya sedikit menggigil, suhu badannya terasa sangat panas ketika ke sentuh dan semua hal tersebut membawa ku kepada satu kesimpulan, dia sakit. “Ayah, aku akan membawa mu ke dokter.” Ucap ku sambil mencoba untuk menggendongnya, “Tidak nak, tak usah kau repotkan dirimu untuk seorang pria tua seperti ku.” Jawabnya yang kini sudah ku lingkari tangannya di leher ku tanda bahwa dia siap ku angkut, dari sini hawa panas dalam tubuh ayah sangat terasa, sampai punggung ku merasa hangat. Di saat yang bersamaan hal yang tak diinginkan terjadi, hujan turun di tengah – tengah perjalanan ku, air hujan perlahan merambat membasahi tubuh ayah dan itu membuat ku lebih panik, “Maafkan ayah karena tak bisa menjaga ibu mu Roni.” Ucapnya di tengah – tengah kepanikan ku, “Apa yang ayah katakan!? Ayah jangan banyak bicara dulu, tempat untuk mu berobat tinggal sedikit lagi.” Jawab ku dengan nada yang agak tinggi, ku akui aku sangat panik kali ini, ditambah hujan yang semakin deras hanya memperkeruh suasana. “Mungkin inilah balasan setimpal yang harus ku terima karena tak berhasil menjaga ibumu. Ayah merasa sangat bersalah, ayah minta maaf pada mu yang sebesar besarnya. Uhuk uhuk.” Ucapannya kini membuat ku menangis. Ya, aku menangis di tengah hujan deras sambil menggendong ayah di punggung ku. “Ayah, kumohon berhentilah untuk berbicara sebentar, karena tempat untuk berobat tinggal sedikit lagi.” Ucap ku sambil merengek, “Roni anakku, gapailah semua keinginan mu. Ubahlah nasib mu dan nasib para petani, sesuai dengan yang pernah kau katakan pada ku dulu, aku bangga memiliki anak seperti mu Roni. Berusahalah yang terbaik dan kau tak perlu mencemaskan ibu mu lagi, karena sebentar lagi ayah akan menyusul ibumu juga lalu menjaganya seperti dahulu. Roni, selamat tinggal.” Ucapannya terhenti tepat di depan pintu masuk puskesmas, detak jangtungnya yang sedari tadi terasa berdenyut pelan di bahuku kini sudah tak terasa lagi. Lagi, hal ini terulang kembali, orang tua ku pergi meninggalkan ku dengan mengucapkan banyak kalimat yang menyayat hati, lagi dan kembali lagi mereka pergi tanpa sempat ku ucapkan apalagi untuk ku buktikan, betapa aku sangat mencintai dan menyayangi mereka. Mengapa? Mengapa waktu tak pernah bertindak adil padaku, bila saja dia memberi ku sedikit kesempatan mungkin ayah akan sempat untuk dirawat mungkin juga ayah akan bisa menikamti masa – masa tuanya dengan perubahan yang selalu kami dambakkan. Tetapi sepertinya aku memang harus lebih bisa sabar untuk menerima semua ini, baiklah akan ku jawab seluruh permintaan mu ayah. Akan kuubah nasib keterpurukan ku begitu juga nasib para petani. Dengan begitu, peralihan fungsi tanah yang mematikan sebagian lahan hijau desa kita akan bisa ku hentikan. Ayah, ibu lihatlah nanti.
            “Tuan, ekspor ke negara Thailand berjalan dengan mulus, dan mereka menerima barang kita.” Ucap seseorang di seberang telepon, “Bagus, terimakasih atas informasinya.” Tuut. Tanda bahwa perbincangan kami selesai, kini apa yang selalu ku dambakkan akhirnya terwujud. Jas hitam yang kini ku kenakan tak kalah hebatnya dengan para makelar tanah itu gunakan dan hasil dari ekspor lahan pertanian ku semakin meningkat, tanaman anggrek yang ku miliki kini sudah berkembang menjadi berbagai jenis tanaman cantik yang lainnya dan pastinya mereka semua adalah penghasilan terbesar kedua ku. Kini hidupku serba berkecukupan, aku memiliki hampir lima ratus truk pengangkut barang dan seratus mobil kontainer pribadi, orang – orang yang bekerja untukku sudah mencapai ribuan, dan kini tugas ku hanya untuk mengatur mereka, “Ayah, Ibu. Sekarang aku sudah menjadi seperti apa yang kalian inginkan, terima kasih karena doa kalian aku bisa menjadi seperti sekarang ini dan untuk ayah, apa yang kita idamkan selama ini sudah ku capai, ini adalah prestasi yang sangat gemilang untukku, benar aku sudah berhasil menekan peralihan fungsi lahan, walau memang agak sulit, namun aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membuat hal tersebut benar – benar berhenti. Oh iya, aku berjanji tak akan menumpahkan seluruh kekesalan ku pada waktu lagi, karena selama ini aku belajar darinya. Belajar dari waktu ku di masa lalu belajar karena banyak orang mengatakan kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Ayah, Ibu aku sayang kalian.”
Tamat

Jumat, 08 Agustus 2014

semntara itu ketika jam istiahat

Entah perasaan ku aja, atau hari ini  para cewek di kelas ku pada sensitif sama mantannya. Walau aku gak termasuk dalam hal ganjil kali ini, tapi sedikit lucu juga. Beberapa kali aku harus dengan terpaksa menahan tawa yang ingin keluar tanpa kendali, dan pada akhirnya hanya suara "ehem" yang ku hasilkan dengan seuntai senyuman di bibir ku. Melihat tingkah laku mereka membuat pandangan ku tertuju pada gadis yang seharusnya menajdi sedikit sensitif pada ku jika hari ini dia ikutan terkena flu terbaru ini. Ku lihat dia bersender pada koridor kelas, sambil beberapa kali mengelus elus layar smartphonenya, desiran angin menerobos masuk ke sela sela lehernya dan otomatis hal itu membuat rambut tergerainya mengibas dengan bebas. Gelang tangan ping itu menambah pesona "loli"nya, walau rambut tergerainya mengurangi secara drastis bahkan membuatnya jauh dari kata imut. Ku lihat dirinya lagi, lagi dan lagi sambil kulanjutkan tulisan ku kali ini. Aku sengaja melakukannya, takut bila dia tahu sedang di perhatikan oleh ku.
Kali ini terlihat agak serius dengan batangan yang ia genggam itu, "mungkin lagi dapet sms met pagi dari pacarnya." pikir ku. Beda dengan ku yang selalu mendapat sms 'selamat, anda memenangkan hadiah kijang inova! Silahkan hubungi bla bla blaa.." membosankan, aku juga ingin mendapat sms "met pagi." tapi apa daya, takdir mengatakan hal sebaliknya. Hahaha
Tak sampai 30 menit, firus itu sudah mulai mereda, lantaran salah seorang korban berkata padaku, "aku udah gak terlalu cuek lagi kok bim." ohh, begitu. Bagus lah, dengan kata lain tulisan ini seharusnya bisa ku hentikan sekarang :)

Minggu, 22 Juni 2014

Bintang

Ini terjadi saat menatap langit malam beserta bintangnya merupakan sebuah hobi baru yang kumiliki. Menatap mereka yang bersinar terang di malam yang gelap membuat ku terhanyut dalam pelukan masa lalu. Seperti memasuki sebuah mesin waktu, aku terdampar dalam kesdihan waktu itu. Yap.. Ketika aku masih mencintainya, saat itu menatap bintang masih bukan menjadi hobi ku karena, menatap dia seorang yang ku kasihi jauh lebih penting. Namun, semua berubah saat bintang terakhir muncul di pertengahan bulan mei.

Sebuah angin malam yang dingin merusak jalinan cinta kami, angin malam yang bertiup sangat kencang hingga mampu membawa cinta ku pergi dengannya. Seorang yang datang hanya untuk merusak dan merebut apa yang sebenarnya  menjadi milik ku.
Saat itu bintang dalam hatiku sedang bersinar sangat terang, tak ingin lagi kehilangan seorang yang ku cinta. Namun naas, bintang yang paling terang adalah bintang yang mencapai masa - masa terakhirnya. Ketika semua berakhir maka dia akan meledak, membentuk sebuah lubang hitam penuh kebencian menghisap semua amarah dan dendam. Lubang yang kita sebut dengan black hole.

Kini, terdapat lubang hitam yang besar dalam hati ku. Lubang yang mampu menarik sekaligus melumat apa saja yang berada di sekitarnya. Dan kini di malam ini aku berharap akan seseorang yang datang untuk menutup lubang hitam penuh amarah di hati ku, secara keseluruhan tanpa sedikitpun celah yang tersisa. Dan membangun bintang yang baru di sana 'di hati ku' yang mampu menyinari kehidupan ku dan memberi sedikit kehangatan di kala ku terpuluk di malam yang gelap.

Rabu, 11 Juni 2014

Burung Dalam Sangkar

Semakin lama pandangan ini tertuju pada mu, semakin menyadarkan diriku bahwa begitu bebasnya hidup mu di luar sana. Tanpa kekangan, aturan maupun norma. Kau hidup dengan sejuta kebahagiaan yang tak ternilai jumlahnya. Semakin aku menatap mu semakin kuat rasa keraguan dalam hati ini, ragu akan apa yang akan keinginan ku untuk memilikimu.


Bagaikan terbang di langit biru yang luas, bersenandung kicau nan indah di telinga. Yahh.. Seperti itulah dirimu, bebas dan bahagia.
Namun setelah melihat mu begitu lama, aku mulai tersadar. "PACAR bukanlah seorang yang bisa melengkapi kekurangan kita, pacar hanyalah seorang yang membatasi kita, mengekang kebebasan kita, dan hanya memberikan kebahagiaan sebatas genggamannya. Dan membuat kita layaknya burung dalam sangkar."


Jadi, bisakah aku memiliki mu?

Jumat, 06 Juni 2014

Gadis Pendiam dan Pembunuhan Misteri (Bagian II)



                Tunggu dulu, apa dia tadi ada menyebutkan tentang layangan putus? Layangan putus dengan tali kan? Dan apa yang akan dilakukan seseorang jika layangannya sudah putus? Wah wahh, jadi begitu ya. Titik terang dari kasus ini sudah mulai terlihat, dan aku akan membalas semua rasa putus asa ini pada mu. “Lihat saja nanti, akan kubongkar kejahatan mu.” Ucap ku sinis dalam hati sambil kulihat wajah Jessica di sudut sana.


                “Baiklah, jika seperti ini kasus di tutup.” Ucap detektif Jhon kepada seisi kelas sore itu. “Jangan, pak detektif. Saya sudah tau dalang dibalik ini semua.” Ucap ku tegas.
“Bukan kah sudah jelas? Ini adalah sebuah pembunuhan acak yang dilakukan oleh orang iseng, dan kau sendiri yang bilang bahwa alibi dari setiap murid sudah sangat jelas, karena kau sendiri kan yang melarang agar mereka semua tak meninggalkan kelas? Apa ada penjelasan lain tentang hal ini?” protesnya
“Memang tak ada penjelasan lain dengan hal ini, tapi tidakkah anda curiga dengan zat luminol pada paku tersebut?”
“Maksud mu?”
“Zat luminol yang tertempel pada paku terlihat sangat tidak wajar, kenapa? Jika paku yang di gunakan adalah paku payung, maka kecil kemungkinan batang dari paku tersebut terkena cipratan darah walau sedikit, mengingat bentuk paku payung yang seperti itu.”
“Lalu?”
“Coba anda ingat kembali saat – saat kecil anda. Pada saat kecil pernah kah anda bermain layangan?”
“Pernah, memangnya kenapa?”
“Jika layangan anda terbang sangat tinggi dan seketika putus lantaran ada seseorang yang mengadunya, bagaimana perasaan anda saat itu?”
“Tentu saja saya sedih.”
“Lalu tindakan apa yang anda lakukan melihat layangan anda yang sudah terbang jauh meninggalkan tuannya?”
“Tak ada, mungkin aku hanya akan menggulung sisa tali layangan yang ada. Tunggu dulu, apakah maksud mu zat luminol yang terletak pada satu satunya paku payung adalah akibat dari penggulungan tali yang bercampur dengan darah?”
“Tepat sekali, jika seperti itu kejadiannya. Maka adanya zat luminol pada batang paku akan sangat terbukti. Disisi lain, ini adalah bukti mengapa paku payung yang satu ini tidak memiliki bekas ikatan benang, melainkan mengandung zat luminol. Jadi ada kemungkinan bahwa pelaku menggunakan tali yang sangat panjang dalam aksinya, dan jika memang seperti itu adanya maka, pembunuhan ini bisa kita simpulkan bukanlah sebuah pembunuhan secara acak, melainkan pembunuhan yang telah direncanakan.”
“Lalu, bagaimana bisa trik ini tepat mengenai korban yang diinginkan pelaku?”
“Mudah saja, pertama –tama pelaku memasang paku payung secara sejajar di masing masing mulut pintu. Kedua, pelaku mengikatkan benang tajam itu ke paku payung satu, namun hanya menaruhnya saja untuk paku payung kedua.”
“Mengapa harus paku payung?”
“Agar pelaku tak perlu khawatir lagi jika benang akan jatuh tertiup oleh angin. Bentuk payung pada paku ia gunakan sebagai penyagga agar benang tidak jatuh.”
“Lalu kapan si pelaku memasang trik ini?”
“Tentu saja kemarin saat pulang sekolah.”
“Bukankah jika seperti itu, trik akan gagal? Seharusnya akan ada orang yang mati saat kau masuk kelas iya kan?”
“Itu mudah saja, cukup dengan mengendorkan tali hingga menyentuh  lantai, maka trik yang ia gunakan akan aman.”
“Benar juga, lalu bagaimana cara pelaku meyakinkan agar korban mau berlari dan menemui ajalnya?”
“Korbannya kali ini adalah seorang gadis, di mana gadis memiliki perasaan yang kuat jika berhubungan dengan cinta. Menurut saya, cukup dengan mengatakan ‘kekasih mu berselingkuh dengan wanita lain’ maka korban pun akan berlari secepat yang ia bisa, berlari dari kenyataan yang ia terima dan siap menuju ajalnya. Walaupun presentase keberhasilan untuk membuat korban berlari sangatlah kecil namun, melihat watak korban yang sangat ekspresif akan perasaannya maka presentase pembunuhan pun menjadi besar.”
“Bagaimana bisa anda tahu watak yang dimiliki korban seperti itu?”
“Karena, dia menyatakan perasaan cintanya pada saya dengan ekspresi yang senang. Sangat senang, sehingga saya tak tau jawaban apa yang akan saya berikan padanya. Dan pada akhirnya, semua berakhir dengan membekaskan rasa bersalah pada diri saya.”
“Anda menolaknya?”
“Pak, tolong. Ini gak ada hubungannya sama kasus, plis jangan bikin saya galau.” Kenapa om berkumis ini bertanya hal yang tak seharusnya? Dasar tukang gosip.
“Oh.. maaf, jadi menurut mu pelaku menggunakan sebuah trik yang biasa digunakan dalam permainan laying – laying benar? Bukan kah akan terlihat sangat mencolok jika menggulung benang dengan tangan kosong? Jika itu terjadi mungkin siswa yang lain akan melihat si pelaku bukan?”
“Bagus sekali jika anda bertanya seperti itu, dan saya tambahkan. Ketika benang terputus maka dia akan menggulung sisa benang yang tidak terikat dengan paku, dan alat yang pelaku pakai adalah sesuatu yang sudah ia perlihatkan pada kita, yang bisa membuat ia menggulung benang tanpa memperlihatkan tangannya yang berlumuran darah kepada kita karena ia bisa menggulung benang di dalam kolong bangku, sungguh alibi yang sempurna.”
“Maksudmu? Pelakunya, adalah..?”
“Yap, seseorang yang dengan terang – terangan memperlihatkan barang bukti berharga dan berfikir itu akan memperkuat alibinya, namun sebenarnya itulah mata berpedang dua baginya. Jessica KAULAH PELAKUNYA !!”
                Terlihat sekilas wajah kaget Jessica, walaupun dia berusaha keras untuk mengendalikan dirinya ia tetap mencoba memasang ekspresi dingin.
“Kau berlasan membuang sampah hasil rautan, berharap selama kejadian pembunuhan berlangsung kami beranggapan kau sedang menggerot pensil di kolong bangku dan alibi mu sangat sempurna, melihat jenis penggerot yang kau gunakan tentu saja penggerot itu bisa kau modifikasi menjadi alat pembunuh yang sangat berbahya. Cih.. jika sekarang polisi mengecek  seluruh tong sampah di sekolah ataupun menyisiri seluruh area sekolah maka akan di temukan seutas tali dengan panjang delapan meter sejarak antara pintu masuk dengan bangku mu, mungkin lebih sedikit agar kau bisa mengendurkan pemasangannya. Dan lagi jika polisi mengecek penggerot yang kau gunakan, maka akan ditemukannya sebekas darah di dalamnya. Bagaimana Jessica apa ada yang salah dengan asumsi ku?”
                Prok.. prok.. prok, wajah kaget Jessica yang semula kaget dan dingin berubah seketika menjadi Jessica yang tak aku kenal, wajah tersenyum mengerikan bagaikan tokoh setan di film. “Tak sedikitpun aku menyangkal asumsi mu, kau benar seratus persen benar. Akulah pelakunya, aku lah yang membunuh gadis itu, aku hanya ingin kau merasakan apa yang selama ini ku rasakan. Kau tak tahu kan? Betapa sakitnya hidup dalam kesendirian dan keheningan? Aku ingin berbagi rasa itu kepada orang yang aku suka, yaitu kamu! Betapa baiknya diriku ini. Hahahahaha.” Dia adalah seorang yandere!!
“Kau salah!! Membunuh bukanlah jalan yang tepat, jika kau memang menyukai ku tak seharusnya kau membagi rasa sepi mu padaku. Melainkan cobalah keluar dari rasa itu dan bergabunglah bersama yang lainnya!! Bersenang – senang bersama semuanya! Jika seperti ini hanya akan menambah rasa sepi mu! Cobalah untuk bersikap dewasa! Berfikirlah sebelum BERTINDAK !!” Bentakku padanya.
“Apa yang kau bilang? Aku tidak mengerti, oh salah. Aku tidak peduli, yang ku lakukan semuanya benar. Dia mencoba memiliki mu dan aku tak akan bisa menerima itu. Dia lebih pantas mati dibandingkan memiliki mu.” Kali ini tatapan Jessica berubah menjadi kosong bagaikan zombie.
“Maafkan aku Jessica, kau bertindak hingga sejauh ini gara – gara aku. Tapi tetap saja alku tidak bisa menerima mu, kau membunuh dan tak seorangpun akan mempercayaimu lagi. Termasuk aku..” ucap ku lirih.


                Polisi menggeledah seluruh tong sampah dan sudut sudut sekolah, dan didapatkannya sebuah benang berukuran kurang lebih delapan meter di toilet wanita, dan membawa serta penggerot yang di sembunyikan Jessica dalam kolong bangku untuk di periksa di lab. Dan terbukti terdapat zat luminol pada benang tersebut, sedangakan darah dalam penggerot pun sudah di cuci bersih meskipun menginggalkan segores darah di dalamnya. Kasus ini pun di tutup dengan kepergian Jessica ke kantor polisi.
“Rio, aku mencintai mu!” ucap Jessica saat melewati ku dengan wajah ceria yang tak pernah kulihat dengan pemandangan dirinya yang sedang diringkus polisi saat itu. Mungkin dia ingin meniru apa yang di lakukan Rinea waktu itu. Dan hari ini berkahir dengan damai, meskipun fikiran tak bisa menerima kata damai tersebut.
“Bagaimana kasusnya kak?” tanya adik kecilku sesampainya aku dirumah.
“Beres.” Ucap ku singkat.
“Nah kalau gitu, kakak juga harus beresin nih kasus barunya kakak. Tuh jemuran kelilit benang layangan anak –anak. Pokoknya kakak harus bersihin sampai gak ada sisa, ngerti? Dan satu lagi habis beresin itu semua langsung mandi!” perintahnya
“Iya, iya.” Bisa –bisanya yah nih bocah nyuruh kakaknya yang baru saja melewati sebuah serius, mungkin tak terpikirkan olenya perasaan apa yang kini ku derita semenjak kejadian tadi.
                Chuuuu.. sebuah ciuman melayang di pipiku “Selamat ya kakak ku yang hebat. Aku sangat menghawatrikan kakak.” Ucapnya penuh bahagia sambil berlalu meninggalkan ku.