Creepy pasta (ori)
Ini adalah sebuah legenda yang sudah dikenal turun temurun oleh orang indonesia. Percaya atau tidak itu terserah anda, namun ketika anda mengalaminya mohon untuk selalu mawas diri.
Jadi begini, ketika anda tiba tiba berada dalam lingkungan yang tak anda kenal dan saat itu anda kebelet pipis, cobalah untuk menahannya. Dan jika anda menemukan sebuah toilet pada saat itu, dengan tegas saya katakan "JANGAN PIPIS DI SANA!" sebab anda akan menyesali hidup anda besok paginya.
Tamat
Saya Bima Blog (berbagi cerpen)
Minggu, 05 Juli 2015
Selasa, 12 Mei 2015
Nilai Akhir (sebuah perjalanan seorang serda)
Nilai
Akhir
(Timor
timur, 3 Januari 1978)
Hempasan angin laut malam yang
dingin menusuk kulit seakan mengincar tulang ku dan membekukannya, sebuah
sensasi yang tak mungkin ku dapat ketika di kampung halaman dulu. Begitu dingin
seakan alam benar – benar membenci ku, pakaian lengan panjang khas TNI yang ku
kenakan kini bagaikan selembar benang di buatnya. Sesekali ku tiup kedua tangan
ku untuk meringankan derita yang tak kunjung usai ini. Enam orang dengan
perlengkapan dan perbekalan dalam sebuah perahu yang tak terlalu besar, sedikit
menaruh keraguan juga dengan fasilitas transportasi ini. “Akankah benda ini
bisa membawa kami ke tempat tujuan?” Gumam ku, kurasa tak hanya beban fisik
yang menjadi kendala namun beban fikiran juga siap menghantui perjalanan ku.
Yah, aku adalah prajurit infanteri dengan pangkat tertinggi di perahu ini.
Bermodalkan pangkat SERDA (Sersan Dua) dan menanggung beban untuk mengetuai
lima orang yang kini bersama ku. Sebagian dari mereka sudah berkeluarga, hanya
aku dan seorang dari mereka yang masih bujang. Meski pangkat ku paling tinggi
namun usia ku lah yang paling muda, bahkan di hadapan bawahan ku, aku terlihat
seperti anak ingusan yang tak tahu apa – apa. Alasan mengapa hal itu bisa
terjadi adalah karena aku lulusan sekolah calon bintara dan bawahan ku adalah
prajurit tamtama. Dalam segi pengalaman aku kalah jauh dengan mereka yang sudah
mengabdi sekitar empat sampai dua belas tahun, dibanding dengan ku yang baru
melaksanakan tugas untuk pertama kali dan terjun ke medan sesulit ini.
“Pak!” Ucap seorang yang duduk di
sebelah ku.
“Iya ada apa?” Jawab ku. “
“Kita akan segera mencapai daratan
dan sebentar lagi pagi. Apa yang seharusnya kita lakukan nanti?” Sebuah
pertanyaan yang sulit bagi seorang pemula seperti ku, wajar saja seorang yang
bertanya padaku adalah prajurit berpangkat KOPRAL yang pastinya sudah fasih
dalam hal menanyakan sesuatu seperti ini.
“Sesampainya di daratan, saya ingin
agar kita mencari tempat beristirahat dahulu dan menyusun sebuah rencana. Oh
iya satu hal lagi bisakah memanggil saya dengan menyebut nama? Panggilan ‘Pak’
terdengar aneh di kuping saya.” Balas ku dengan jujur. Memang di panggil pak
oleh orang yang lebih tua membuat telinga ku merasa ngilu.
“Baiklah, SERDA Arif!” Balasnya
dengan nada yang tegas, sepertinya dia adalah orang yang pantang menyerah.
Baiklah, kamu berhasil memperburuk suasana.
“Sepertinya pak lebih baik.”
Sudah tiga puluh tiga tahun
semenjak Presiden Ir.Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan bagi bangsa kita,
saat itu aku belum lahir. Karena aku lahir tiga belas tahun dari peristiwa
bersejarah itu. Ayah ku yang melihatnya secara langsung, menceritakannya padaku
dengan menggebu – gebu ketika usia ku delapan tahun. Cerita ayah akan kehebatan
bapak proklamator kita berhasil menghipnotis ku akan hal – hal yang berbau
patriotisme dan pada saat itu pula tekad ku sudah ku tentukan untuk menjadi
seorang prajurit.
“Pak, kita sudah sampai.” Ucap
seorang anak buah ku yang mengemudikan perahu ini. Matahari sudah memancarkan
sinar hangatnya ketika perahu kami menyentuh bibir pantai, segera mungkin
kelompok kecil kami beranjak dari perahu dan menyusuri hutan yang sudah
terpampang rapi di depan sana. “Ayo, cepat!” Pinta ku. Kami sebagai pasukan
tambahan bertugas untuk membantu pasukan yang sudah berangkat lebih dulu dari
kami, namun sebelum itu hal pertama yang harus kami lakukan adalah berkumpul
dengan kelompok lainnya pada sebuah markas dekat kota Dili, jaraknya cukup jauh
dari tempat kami berpijak kini. Jadi kemungkinan kami di serang oleh musuh saat
perjalanan sangatlah besar.
“Jadi, apa rencana kita pak?” Tanya
seorang anak buah ku. Tertulis nama Budi di dada bagian kirinya.
“Rencana kita sederhana, kita akan
berangkat ke tempat tujuan ketika pagi dan beristirahat sebentar saat siang,
kemudian melanjutkan perjalanan ketika sore hingga menjelang malam.”
“Bagaimana dengan keamanan malam
hari pak?”
“Cukup dengan berjaga secara gilir.
Baiklah tujuan kita adalah Kota Dili, lumayan jauh dari sini. Jika kita tidak
bergegas maka kita akan tertinggal oleh yang lainnya.”
“Yah, menurut informasi terjadi
perang besar di kota itu.” Balas seorang yang berjalan di belakang ku, Roni.
Dialah satu – satunya prajurit berpangkat terendah di kelompok ku, balok dua
merah di lengannya menandakan bahwa dia adalah seorang prajurit satu, namun
pengalamannya empat tahun lebih unggul dari ku dan dialah satu – satunya anak
buah ku yang masih bujang.
Kini kami memasuki pedalaman hutan,
pohon – pohon besar nan rindang menyertai perjalanan kami, alunan musik dari
kicauan burung hutan sedikit menenangkan rasa gelisah yang perlahan merasuki
pikiran seakan berkata, “Tak akan terjadi apa – apa. Teruslah berjalan.” Sulit
dipercaya pemandangan seperti ini merestui tugas kami dan aku berharap, hal
seperti ini akan terus berlangsung hingga akhir nanti.
Semua berubah ketika malam tiba,
hawa dingin menyengat lebih tajam dibanding panas matahari ketika siang. Suara
jangkrik turut mengambil peran dalam suasana tak menyenangkan ini, nyanyian
katak yang bersahutan terdengar memilkukan dan geraman sang burung hantu
mengusik ketenangan.
“Apakah kita akan beristirahat di
sini pak?” Tanya salah satu anggota ku yang berjalan paling depan, Eko.
“Yah, kita akan berkemah di sini.
Semuanya tolong bantuannya.” Sahut ku.
Tak memakan waktu lama, tenda yang
kami bangun akhirnya jadi dan masakan pun siap. Rasa senang menyeruak dalam
benakku, karena berkemah adalah salah satu kegiatan kesukaan ku. Inilah
kegiatan yang ku tunggu – tunggu ketika pramuka dulu, walau kini aku harus
berkemah dengan keadaan yang berbeda.
“Sekarang, Pak Agus, Eko dan Roni
yang jaga. Saya, Doni, Budi yang istirahat. Bangunkan kami kalau sudah empat
jam lamanya.” Pinta ku, kira – kira sekarang adalah jam tujuh malam jadi tengah
malam nanti mereka akan membangunkan ku. Usai makan malam kami langsung tidur
untuk mengisi tenaga kami.
“Pak, pak! Bangun!” Bisik seseorang
seakan menarik diriku dari jurang mimpi yang dalam, walau berat kupaksakan
diriku untuk memenuhi tanggung jawab. “Yah, silahkan kalian beristirahat. Kami
yang akan berjaga.” Ucap ku. Kupaksakan mata ku untuk tetap terjaga, bertahan
dari serangan kantuk dan kantung mata yang terus melawan, kulihat tiga anggota
ku tertidur lelap. Mereka terlalu lelah dan tak tanggung – tanggung salah satu
dari mereka mendengkur pelan, “Dasar Roni.” Gumam ku.
Keadaan seperti ini terasa terlalu
mulus untuk ku, apakah nasib baik sedang berpihak pada kami? Apakah tuhan
mendengar tiap doa yang dipinta oleh keluarga kami? Ku harap demikian, ku harap
nasib memang merestui kami dan ku harap tuhan benar – benar menjawab doa
mereka.
Sudah tiga hari lamanya kami
menjelajahi hutan, walau demikian perjalanan mencapai kota masih sangat jauh. Kami
berjalan secara terpisah, untuk berjaga – jaga dan mengetahui tiap areal
sekitar hutan belantara ini ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun,
suasana tak seperti biasanya, kicauan burung sudah tak semerdu seperti awal
perjalanan, apakah karena aku yang sudah mulai terbiasa dan bosan mendengarnya
atau ini adalah sebuah pertanda buruk? Ketika aku bersusah payah berfikir akan
hal itu sebuah suara tembakan menggema di seluruh penjuru hutan, suara panik
hewan – hewan memberi koreksi dengan nilai yang sangat buruk akan pertanyaan
ku. Seorang anak buah ku tertembak tepat di dadanya dan kini kepanikan
menyeruak diantara kelompok kami, “Oh, tidak Roni!!” Saat kusadari suara
tembakan itu mengarah kearah Roni, dia tersungkur sambil memegangi dadanya yang
tak henti – henti mengeluarkan darah paru – parunya tertembak, “Semuanya,
Tiarap!!” Bentak Eko ketika semua berlari menuju kearah anak malang itu, tak
lebih dari sepersekian detik kami menuruti apa yang di perintahkannya. Satu hal
yang dapat ku simpulkan dari peristiwa ini, kami sedang diserang. “Sepertinya
musuh berasal dari arah kota, mungkin mereka sudah terkepung oleh pasukan yang
bertugas di awal dan bersembunyi di sini!”
Ucap Budi, yang sedikitpun tak kusangkal. Kesimpulan cepat yang ia buat
sangat masuk akal dan hanya itu kemungkinan yang mungkin terjadi saat ini.
Perang untuk merebutkan Timor Timur sudah berlangsung lebih dari dua tahun
sejak tahun 1975. Pasukan elit KOPASUS sudah ditugaskan di awal peperangan dan
kini para infanteri seperti kamilah yang membantu menyelesaikan sisanya. Suara
mesin mobil terdengar dari depan sana, ku taksir ada sekitar empat sampai lima
mobil yang sedang menuju ke arah kami ditambah lagi keberadaan salah satu anggota kami sudah diketahui.
“Jumlah mereka pasti sangatlah banyak, tak mungkin kita bisa menang!!” Kata
Roni masih memegangi dadanya.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan
pak?” Tanya Agus.
“Apa? Tentu saja bersembunyi!”
Jawab ku.
“Saya rasa kalau bersembunyi kita
pasti akan ketahuan!!” Ucap Doni.
“Maksud mu?”
“Mereka mengetahui keberadaan
Roni, jika kita menyembunyikannya maka
kita juga akan ketahuan!”
“Jadi, kau akan meninggalkan dia
sendirian di sini?”
(Diam)
“JAWAB AKU!!”
“Tenanglah pak! Apa yang dikatakan
Doni itu benar. Coba kita pikir, musuh pasti sudah mengetahui keberadaan Roni.
Membawanya hanya akan menghambat waktu.”
Jawab Budi.
“BAGAIMANA BISA KAU BERKATA SEPERTI
ITU!? Kau ingin dia mati?” Bentakku.
“PAK!! Saya mohon tenanglah!!”
“Bukankah kalau kita bersembunyi
kita juga akan ketahuan!? AKU TAK KEBERATAN JIKA HARUS MATI DI SINI!!”
“PLAAKK!!” Roni menampar ku.
“Pak, kau hanya memikirkan diri mu
sendiri. Kau tak mengerti kan? Mereka semua sudah berkeluarga! Mereka harus
tetap hidup demi menghidupi keluarga mereka, pikirkan bagaimana nasib anak
mereka kalau tulang punggung keluarga mereka mati!?” Ucap Roni tersengal -
sengal.
“Lalu bagaimana dengan mu?” Tanya
ku lirih.
“Aku tak apa – apa, lagi pula aku
tak memiliki tanggungan beda dengan yang lain.”
“Kalau begitu aku akan menemani mu
Roni!”
“Jangan bodoh, tanggungan mu adalah
memastikan anggota mu sampai tempat tujuan! Jika kau mati, apa kau masih bisa
memastikannya?” Aku terdiam ketika mendengar perkataannya yang sangat memilukan
ini.
“Baiklah, jika itu yang kau
inginkan Roni.” Balas ku sedikit menitikkan air mata.
“Aku ada rencana, kita akan
mengubur diri kita tak jauh dari sini. Dengan begitu, kita tak akan perlu
berlari terlalu jauh dan kita pasti akan sempat!!” Usul Budi
“Baiklah! BERGERAK!” Perintah ku.
Tak sampai lima menit, lima buah
kubangan sedalam satu meter berada di hadapan kami. Satu persatu dari kami
memasuki kubangan itu dan mengubur diri dibantu dengan yang lainnya dan tibalah
saat ku yang terakhir memasuki kubangan, Roni dengan susah payah membantu ku
untuk mengubur ku.
“Roni, pastikan bahwa kau lah yang
akan membuka kubangan ini lagi.” Ucap ku pada anak buah ku yang malang itu.
“Haha.. pastikan juga kalau bapak
lah yang akan menanam ku ketika keluar nanti.” Balasnya sedikit menitikkan air
mata, beberapa tetes membasahi wajah ku.
“Sampaikan salam ku pada ayah dan
ibu ku di rumah. Mereka pasti bangga dengan ku, mungkin idola ku Bapak
Ir.Soekarno sudah menunggu kehadiran ku disana.” Sambungnya.
“Kau memiliki idola yang sama
dengan ku.” Ucap ku sebelum tanah mengubur ku sepenuhnya.
Roni berjalan menuju tempat ia
tertembak, bersembunyi di antara pepohonan dengan persenjataan lengkap
menunggu mobil musuh datang. Aku bisa
merasakan semua itu seperti aku melihatnya dari dalam sini. Suara tembakan
mulai merajai hutan belantara ini, ku pastikan kontak senjata antara Roni
dengan seklompok orang itu sedang terjadi.
(Sementara itu)
Roni berhasil membunuh bererapa
musuh yang berada di mobil itu, sambil terus bersembunyi di balik pepohonan.
“Dor!” Seseorang menembak Roni dari depan dengan jarak yang sangat dekat, Roni
tak sadar akan kedatangan orang itu.
“Jadi, selama ini kamu nyelinap
ya?” Roni tergeletak tak berdaya. Senjatanya di rampas oleh pasukan musuh.
“Begitulah. Wow! Tak kusangka
tembakan pertama ku mengenai paru – paru kirimu dan kau masih bisa melawan
dengan keadaan seperti itu, hebat sekali tetapi serangan ku kini mengenai yang
sebelah kanan juga. Tak lama lagi kau akan mati.” Ucap orang itu membungkuk
melihat luka tembakan yang di terima Roni.
“Apa kau.. uhuk uhuk, apa kau
pemimpin dari kelompok itu?”
“Tentu.”
“Ku beri tahu kau satu hal yang
bermanfaat, jangan harap bisa membunuh seorang perajurit TNI hanya dengan
menembak paru – parunya, tapi cobalah untuk menembak INI!!”
“Tseebb!!” Sebuah belati kecil
menancap tepat di jantung orang itu, belati yang selama ini di sembunyikan Roni
di kantung celana lorengnya. Seketika orang itu roboh disaksikan oleh
kelompoknya yang kebetulan datang saat itu, tak segan anggota dari kelompok
musuh melucuti Roni dengan beberapa tembakan, namun sebelum musuh menembakinya
dia tersenyum puas akan sesuatu yang telah diperbuatnya. Dia sudah menjadi
seorang pahlawan.
Tak kuasa aku menahan air mata
ketika melihat jazat Roni yang berlubang – lubang akibat tembakan, ketika itu
hari sudah sore dan musuh tak terlihat, dapat dipastikan mereka sudah
melanjutkan perjalanan.
“Semua orang pasti akan mati.” Ucap
Budi menenangkan ku.
“Yah, kau tahu. Nilai seseorang
akan ia terima disaat – saat terakhirnya, setidaknya itulah yang dikatakan ayah
ku.” Balas ku.
“Sepertinya Roni medapatkan nilai
akhir yang lebih dari sempurna. Dia terlihat sangat keren dengan bekas luka
itu.” Lanjut Budi.
“Kau benar Budi, kau benar.” Ucap
ku tak kuasa menahan air mata.
Ini bukanlah sebuah akhir dari
perjalanan kami, masih banyak halangan dan rintangan yang menunggu kami di
depan sana. Aku tahu bahwa semua yang diciptakan – Nya akan kembali lagi ke
sisi – Nya. Satu hal yang dapat aku pelajari dari peristiwa ini adalah, segala
sesuatu membutuhkan pengorbanan, entah itu tenaga, waktu, bahkan nyawa
sekalipun. Kau tak akan pernah bebas dari sebuah kekangan jika yang kau lakukan
hanyalah menengadahkan tangan dan pasrah. Kau harus berjuang demi sesuatu yang
ingin kau capai demi orang – orang yang mendukung mu dan demi orang yang
berharga bagi mu.
Tamat
Selasa, 07 Oktober 2014
Ayah Jangan Jual Sawah Kita (Cerpen Mading)
Ayah
Jangan Jual Sawah Kita
Menjadi
lulusan terbaik bukanlah akhir maupun hasil yang ku dapat dari apa yang telah
ku lakukan selama ini. Walau tak sedikit
biaya, waktu dan tenaga yang ku keluarkan demi itu, namun hal tersebut bukanlah
sebuah hal yang patut di banggakan, karena kehidupan yang sebenarnya baru saja
akan dimulai.
Nama ku Roni, aku baru saja tamat
kuliah. Jurusan yang ku ambil adalah jurusan pertanian dan fokusnya adalah
perbisnisan, walau tak pernah memegang uang banyak namun menghitung adalah kegemaran
ku. Kenangan akan pelemparan topi wisuda masih terngiang – ngiang dibenakku, ah
betapa bahagianya saat – saat itu, kini seluruh pengabdian ku selama beberapa
tahun belakangan baru akan bisa ku buktikan dan akan ku buat diriku untuk
melangkah lebih maju. Aku adalah anak semata wayang dari keluarga petani
sederhana di desa, ayah ku setiap harinya hanya menghabiskan waktu berkebun dan
bercocok tanam di ladang sedangkan ibu ku hanya tergeletak tak berdaya di
rumah, kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat di ladang beberapa tahun yang
lalu, mengapa tak dibawak ke rumah sakit? Jika kami punya uang yang banyak kami
pasti sudah melakukannya. Mengingat keadaan keluarga ku saja sudah membuat ku
menitihkan air mata, namun aku tak boleh menyerah akan ku buat keadaan terpuruk
keluarga ku sebagai alasan mengapa aku harus merantau ke kota dan menuntut ilmu
demi hal tersebut.
Sekarang aku berada di terminal,
sudah kuputuskan sejak awal untuk segera mungkin balik ke desa begitu kuliah ku
selesai. Seperti biasa aku selalu tertidur ketika sedang berada di bis, jika
aku terjaga yang akan terjadi malah akan semakin buruk, karena aku mabuk
perjalanan terutama jalanan di kota, penuh asap kendaraan, suara bising dari
klakson, pedagang yang sesekali seenaknya masuk ke bis dan berteriak menjual
dagangannya dan pemandangan gedung – gedung yang sangat tinggi hanya membuat
kepalaku bertambah pusing, aku tahu itu adalah hal wajar yang terjadi di kota
dan aku sudah sering mengalaminya beberapa tahun belakangan ini namun aku tetap
tak terbiasa dengan keadaan perjalanan seperti ini.
Beberapa jam di perjalanan akhirnya
aku terbangun, seharusnya aku sudah bisa melihat beberapa petak sawah dari
dalam bis ini, namun sampai saat ini belum mungkin rasanya jika aku masih belum
sampai di kawasan pedesaan, waktu demi waktu berlalu tetapi entah mengapa aku
tak melihat sepetak sawah pun, hanya bangunan – bangunan rumah dan ruko kecil
yang kulihat sejauh ini. “Apa ini? bukankah seharusnya jalan ini berada
diantara petak sawah? Atau aku salah naik bis?” Gumam ku. Ku putuskan untuk
membuang rasa penasaran ku dan bertanya kepada kernet yang sedari tadi duduk
manis di depan, “Adik tidak salah naik bis kok.” Jawabnya singkat namun penuh
dengan arti yang sangat dalam, mendengar jawaban darinya kuputuskan untuk duduk
kembali dan memikirkan dalam – dalam apa yang sebenarnya terjadi, “Seharusnya
di sana ada pohon beringin yang besar.” Gumam ku ketika bis yang ku tumpangi
melewati sebuah rumah bertingkat, pemandangan itu membuat ku berpikir lebih
keras hingga membuat kepalaku pusing sendiri namun sekarang sudah menuju pada
sebuah kesimpulan, yaitu “Alih fungsi lahan.” Ucap ku.
Tanah yang seharusnya digunakan
petani desa untuk menanam padi dan sayuran kini berganti menjadi beton, “Apakah
kalian akan memanen beton tersebut? Atau kalian akan memakannya?” Pikir ku
sinis akan kekecewaan ku terhadap penduduk di desa. Kekesalan ku memuncak
ketika melihat ayah ku sedang berunding dengan seorang pria ber jas hitam
lengkap dengan kaca mata dan tas koper pada genggamannya, segera mungkin aku
berlari kearahnya dan berteriak, “Ayah jangan jual sawah kita!!” mendengar
teriakan ku tubuh ayah mulai gemetar dan memalingkan wajahnya ke arah ku
mulutnya menganga dan matanya mulai berair, “Roni!” Ucapnya ketika tubuhnya
berada dalam pelukan ku, “Ku mohon ayah, jangan jual sawah yang kita miliki.
Bukankah ayah makan dari sana? Ingatkah ayah ketika kita bermain bersama di
sana? Dan bukankah dari sawah itu juga biaya pendidikan ku berasal? Jadi
kumohon jangan buang satu – satunya harta yang kita miliki.” Ucap ku padanya,
kurasakan bibir ku bergetar. Ku akui aku sangat takut kehilangan sawah ku,
penghidupan ku sebagai seorang anak petani. “Jadi bagai mana pak? Apa bisa saya
beli tanah ini?” Tanya pria berjas hitam itu. “Maaf pak, saya urungkan niat
saya untuk menjualnya.” Balas ayah dengan pelukannya yang semakin kuat
mencengkram tubuh ku. “Baiklah.” Pria itu menginggalkan ku dan ayah dengan
sedikit kekesalan yang tertoreh di wajahnya. Aku akan melindungi tanah ku,
apapun yang terjadi akan kubuktikan bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan
yang patut untuk diremehkan.
“Mengapa ayah mau menjual tanah
kita?” Tanya ku sesampainya di dalam rumah. “Karena kita perlu uang nak untuk
pengobatan ibu mu.” Jawabnya dengan nada yang sedikit menyesal. “Apakah ayah
sedang terbelit hutang atau yang lainnya?” Tanya ku balik, “Tentu saja tidak,
seburuk apapun kondisi keuangan ayah. Ayah tidak akan meminjam uang jika ayah
tak bisa membayarnya.” Aku menyukai sifat ayah yang satu ini, meminjam tanpa
mengembalikan bukanlah suatu hal yang dapat ditiru, itu adalah sifat tak
bertanggung jawab dan aku ingin menjadi lelaki yang bertanggung jawab untuk
diriku keluargaku dan masyarakat. “Jadi bagaimana?” Tanya ayah padaku. “Tenang
saja, aku sudah mendapatkan ilmu yang cukup untuk membangun sebuah usaha demi
menyelamatkan tanah kita, dan mari kita mulai semua dari hal yang paling kecil
dahulu, mari kita kembang biakkan tanaman ini dahulu.” Ku keluarkan bibit
tanaman anggrek yang sedari tadi terbungkus dengan tas kresek oleh ku. “Dari
mana kau mendapatkannya nak?” “Ini kudapatkan dari salah seorang dosen ku, dia
memberi ku ini karena menurutnya nilai ku bagus – bagus. Yah, aku berjuang demi
yang terbaik di sana.” “Ayah bangga pada mu nak.” “Sekarang bukanlah saatnya untuk
berbangga diri ayah, hal yang sebenarnya baru saja akan dimulai dari detik ini
dan kita akan berjuang demi yang terbaik dan demi ibu juga. Oh iya ibu dimana?”
“Ibu sedang tidur di kamar, mau lihat?” “Pasti!”
Terlihat sosok wanita tua yang
sangat ku kenal wajahnya sedang tidur nyenyak ketika ku masuki ruangan penuh
kenangan ini tubuhnya lemah, kulitnya penuh keriput, rambutnya putih, seluruh
perawakannya tak jauh beda dengan pria yang kini berdiri di sebelah ku, ayah.
Ya ini adalah kamar orang tua ku, kamar yang membuatku tidur lebih baik ketika
aku takut untuk tidur sendiri, biasanya hal ini terjadi jika Budi teman kecil
ku mulai bercerita tentang hantu saat kami bosan bermain. Tanpa terasa air mata
ku mulai mengalir kembali, memori indah masa kecil ku terputar kembali dalam
benakku bagai kaset kusam yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam,
membawa ku kembali pada kenangan – kenangan indah pada ruangan pada rumah tua
ini. “Ibu, aku pulang.” Ucap ku. “Roni? Kau kah itu?” Tanya nya. “Iya bu, ini
aku Roni.” Jawab ku. “Kau tahu? Berapa lama ibu menunggu mu nak?” Tanya ibu
kembali. “Maafkan aku telah meninggalkan ibu dengan waktu yang sangat lama.”
Jawab ku dengan air mata yang kembali membasahi pipi, sejak kapan aku menjadi
secengeng ini? “Haha, ibu tak apa – apa nak, hanya saja ibu terlalu senang
masih sempat untuk bertemu dengan mu lagi. Karena, waktu ibu sudah tak banyak.
Uhuk uhuk.” “Ah!? Maksud ibu?” Perkataan ibu barusan membuat ku sedikit kecewa
dan geram. “ “Yah, jaga anak kita ya.” Ucap ibu, suaranya menjadi semakin
kecil. “Ayah!? Apa maksud dari semua ini!? Ayah!?” Ayah memalingkan wajahnya,
terlihat raut kesedihan di balik gambaran ekspresi itu. Apakah ini yang di
sebut dengan akhir? Dan saat kutoleh ibu, dia sudah tak berbicara bibirnya
tertutup rapat tak kalah rapat dengan matanya tangannya menggenggam ku dan dia
sudah benar – benar tertidur, dia akan tertidur dalam waktu yang sangat lama
dan itu membuat ku sangat sedih terutama karena aku tak sempat mengatakan
padanya, bahwa aku sangat mencintainya.
Aku tak habis pikir, ketika ayah
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Ibu berjuang menahan rasa
sakitnya dan menekan seluruh biaya pengobatan demi biaya sekolah ku, karenanya
penyakit ibu menjadi semakin parah dan karena itulah ayah ingin menjual tanah
kita. Sungguh berat perjuangan kedua orang tua ku, aku tak menyangka kepergian
ku membuat keadaan menjadi seperti ini, tekad ku semakin kuat untuk merubah
nasib keterpurukan keluarga ku, lihat saja nanti akan ku buktikan petani juga
bisa memakai jas seperti makelar tanah kemarin.
“Lalu, berapa orang petani yang
masih bertahan dengan lahan sawah mereka yah?” tanya ku, “Um, sekitar 75
orang.” Jawabnya. “Ugh! Sedikit sekali? Tidak apa – apa, apakah lahan mereka
masih aktif? Maksud ku masih bisa panen dengan hasil yang bagus.” Tanya ku
lagi, “Ya, lahan mereka masih bisa menghasilkan, tanah mereka masih gembur dan
hidup mereka ditaruhkan pada tanah itu.” “Baiklah kurasa itu cukup.” Jawab ku
sambil membuka tas besar yang ku miliki, “Ini aku memiliki sejumlah uang,
selama di kota aku bekerja sambilan, mengajar les, menjadi karyawan honorer dan
masih banyak lagi. Jadi rencana ku sekarang adalah membeli seluruh hasil panen
para petani dan menjualnya ke kota.” “Lalu bagaimana kau akan membawanya?” “Mang
Hidin masih memiliki mobil truknya kan? Kita akan sewa itu beserta supirnya,
kemudian akan ku jual dengan seorang bos super market dengan harga tipis di
atas modal, hasil penjualan dari pembelian panen petani akan kita putar menjadi
modal untuk terus membeli panen mereka dan keuntungan tipisnya akan kita pakai
untuk biaya sewa mobil supir beserta buruhnya.” Jelas ku, “Lalu bagaimana
dengan keuntungan kita?” “Aku tadi menjelaskan bahwa yang kita pergunakan
adalah hasil penjualan dari panen petani, bagaimana dengan panen kita sendiri?
Panen kita sendiri itulah keuntungan kita ayah dan apakah ayah tahu? Sisa uang
dari ongkos mobil supir dan buruh bisa kita gunakan untuk keperluan tani kita.”
Mendengar penjelasan panjang lebar ku mata ayah terbuka dan berbinar. “Kau
benar nak! Kau benar!!” Ucapnya bersemangat, “Tetapi, untuk sementara ini
apakah ayah masih kuat bertani?” Tanya ku, “Tentu saja! Ayah masih kuat!!.”
“Aku akan jamin, kita hanya akan bertani pada awal panen, sisanya? Tidak! Aku
tak ingin ayah kelelahan, kita akan gunakan keuntungan kita untuk menyewa
petani garapan, sementara waktu ayo kita olah lahan pertanian kita. Oh iya,
seiring berjalannya waktu aku akan mengembangkan tanaman anggrek yang ku bawa
karena ini akan menjadi modal tambahan untuk usaha kita ayah. Ayah tahu, kalau
harga tanaman hias seperti ini sangat mahal jika kita menjualnya di kota. Mari
kita berjuang ayah!” Ucap ku menggebu – gebu yang kemudian dibalas ayah dengan
anggukan yang mantap.
Keringat bercucuran pada leher dan
kening pria tua yang kini sedang berbungkuk di hadapan ku, wajahnya yang
semakin lama mulai kusam dan penuh keriput itu menyadarkan ku bahwa setiap
manusia akan mengalami hal yang sama karena waktu terus berputar tak peduli
apapun yang terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya ataupun memutarnya
balik terlebih lagi untuk mengulangnya mengulangnya, apakah waktu seegois itu?
Kurasa jawabannya iya, waktu memang sesuatu yang egois, waktu lah yang
menyebabkan kematian ibu dan karena waktu lah aku harus merasakan sakit akan
pedihnya kehilangan. Masih tertuju pandangan ku terhadap pria tua di hadapan
ku, dari raut wajahnya dia terlihat sangat kelelahan tetapi ekspresinya
menunjukkan sebuah kebahagiaan. “Ayah apa yang sedang ayah pikirkan?” tanya ku,
“Tidak, hanya saja ayah sangat senang kau membantu ayah bekerja di sawah.”
Jawabnya, “Tentu saja aku akan membantu ayah, aku kan anak ayah.” “Hahaha,
maksud dari perkataan ayah bukan untuk menyindir mu, hanya saja selama ini ayah
bekerja sendiri sebelum hal yang buruk terjadi pada ibu mu, ayah sangat
merindukannya nak.” Ucapnya dengan nada suara yang sedikit bergetar, dia pasti
sedang merasa sedih, “Aku juga
merindukan ibu yah, sangat merindukannya. Tetapi ayah tak perlu cemas,
karena sekarang aku berada disisi ayah, bersama kita berdua akan merubah nasib
dan nasib para petani di desa ini dan menekan usaha para makelar tanah itu
dalam usahanya untuk mengubah alih fungsi lahan! Kita akan pertahankan tanah
hijau desa kita, bersama – sama ayah kau dan aku anak mu.” “Ya, kau benar nak!”
Ucap ayah dengan tangannya terkepal tanda jiwa kini dengan penuh semangat.
Daun – daun padi semakin menguning
dan burung – burung nakal mulai berterbangan hampir di setiap petak sawah
adalah pertanda bahwa sebentar lagi waktu panen tiba, perasaan ku mulai
semangat dan terus bertambah semangat seiring bergantinya hari mengingat
pengorbanan ku selama bertahun – tahun ini akan mencapai puncaknya dan
pertaruhan ku dengan waktu akan menuai hasil, ku langkahkan kaki dengan
semangat dan mantap menuju sawah pagi itu menghirup udara segar sebanyak dan
sedalam mungkin mengingat hal ini akan menjadi luar biasa, namun di tengah
kegembiraan ku sosok ayah tak urung jua keluar dari rumah, mungkin dia terlalu
lelah. Baiklah, akan ku selesaikan pekerjaan hari ini sendiri. Hari berganti
siang berlanjut sore, namun ayah belum juga keluar dari kamarnya. Kuputuskan
untuk segera mungkin menyelesaikan pekerjaan ku dan melihat kondisi ayah, benar
saja ayah masih berbaring di atas tempat tidur, badannya berkeringat dan tubuhnya
sedikit menggigil, suhu badannya terasa sangat panas ketika ke sentuh dan semua
hal tersebut membawa ku kepada satu kesimpulan, dia sakit. “Ayah, aku akan
membawa mu ke dokter.” Ucap ku sambil mencoba untuk menggendongnya, “Tidak nak,
tak usah kau repotkan dirimu untuk seorang pria tua seperti ku.” Jawabnya yang
kini sudah ku lingkari tangannya di leher ku tanda bahwa dia siap ku angkut,
dari sini hawa panas dalam tubuh ayah sangat terasa, sampai punggung ku merasa
hangat. Di saat yang bersamaan hal yang tak diinginkan terjadi, hujan turun di
tengah – tengah perjalanan ku, air hujan perlahan merambat membasahi tubuh ayah
dan itu membuat ku lebih panik, “Maafkan ayah karena tak bisa menjaga ibu mu
Roni.” Ucapnya di tengah – tengah kepanikan ku, “Apa yang ayah katakan!? Ayah
jangan banyak bicara dulu, tempat untuk mu berobat tinggal sedikit lagi.” Jawab
ku dengan nada yang agak tinggi, ku akui aku sangat panik kali ini, ditambah
hujan yang semakin deras hanya memperkeruh suasana. “Mungkin inilah balasan setimpal
yang harus ku terima karena tak berhasil menjaga ibumu. Ayah merasa sangat
bersalah, ayah minta maaf pada mu yang sebesar besarnya. Uhuk uhuk.” Ucapannya
kini membuat ku menangis. Ya, aku menangis di tengah hujan deras sambil
menggendong ayah di punggung ku. “Ayah, kumohon berhentilah untuk berbicara
sebentar, karena tempat untuk berobat tinggal sedikit lagi.” Ucap ku sambil
merengek, “Roni anakku, gapailah semua keinginan mu. Ubahlah nasib mu dan nasib
para petani, sesuai dengan yang pernah kau katakan pada ku dulu, aku bangga
memiliki anak seperti mu Roni. Berusahalah yang terbaik dan kau tak perlu
mencemaskan ibu mu lagi, karena sebentar lagi ayah akan menyusul ibumu juga
lalu menjaganya seperti dahulu. Roni, selamat tinggal.” Ucapannya terhenti tepat
di depan pintu masuk puskesmas, detak jangtungnya yang sedari tadi terasa
berdenyut pelan di bahuku kini sudah tak terasa lagi. Lagi, hal ini terulang
kembali, orang tua ku pergi meninggalkan ku dengan mengucapkan banyak kalimat
yang menyayat hati, lagi dan kembali lagi mereka pergi tanpa sempat ku ucapkan
apalagi untuk ku buktikan, betapa aku sangat mencintai dan menyayangi mereka.
Mengapa? Mengapa waktu tak pernah bertindak adil padaku, bila saja dia memberi
ku sedikit kesempatan mungkin ayah akan sempat untuk dirawat mungkin juga ayah
akan bisa menikamti masa – masa tuanya dengan perubahan yang selalu kami
dambakkan. Tetapi sepertinya aku memang harus lebih bisa sabar untuk menerima
semua ini, baiklah akan ku jawab seluruh permintaan mu ayah. Akan kuubah nasib
keterpurukan ku begitu juga nasib para petani. Dengan begitu, peralihan fungsi
tanah yang mematikan sebagian lahan hijau desa kita akan bisa ku hentikan.
Ayah, ibu lihatlah nanti.
“Tuan, ekspor ke negara Thailand
berjalan dengan mulus, dan mereka menerima barang kita.” Ucap seseorang di
seberang telepon, “Bagus, terimakasih atas informasinya.” Tuut. Tanda bahwa
perbincangan kami selesai, kini apa yang selalu ku dambakkan akhirnya terwujud.
Jas hitam yang kini ku kenakan tak kalah hebatnya dengan para makelar tanah itu
gunakan dan hasil dari ekspor lahan pertanian ku semakin meningkat, tanaman
anggrek yang ku miliki kini sudah berkembang menjadi berbagai jenis tanaman
cantik yang lainnya dan pastinya mereka semua adalah penghasilan terbesar kedua
ku. Kini hidupku serba berkecukupan, aku memiliki hampir lima ratus truk
pengangkut barang dan seratus mobil kontainer pribadi, orang – orang yang
bekerja untukku sudah mencapai ribuan, dan kini tugas ku hanya untuk mengatur
mereka, “Ayah, Ibu. Sekarang aku sudah menjadi seperti apa yang kalian
inginkan, terima kasih karena doa kalian aku bisa menjadi seperti sekarang ini
dan untuk ayah, apa yang kita idamkan selama ini sudah ku capai, ini adalah
prestasi yang sangat gemilang untukku, benar aku sudah berhasil menekan
peralihan fungsi lahan, walau memang agak sulit, namun aku akan berusaha sekuat
mungkin untuk membuat hal tersebut benar – benar berhenti. Oh iya, aku berjanji
tak akan menumpahkan seluruh kekesalan ku pada waktu lagi, karena selama ini
aku belajar darinya. Belajar dari waktu ku di masa lalu belajar karena banyak
orang mengatakan kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Ayah, Ibu aku
sayang kalian.”
Tamat
Jumat, 08 Agustus 2014
semntara itu ketika jam istiahat
Entah perasaan ku aja, atau hari ini para cewek di kelas ku pada sensitif sama mantannya. Walau aku gak termasuk dalam hal ganjil kali ini, tapi sedikit lucu juga. Beberapa kali aku harus dengan terpaksa menahan tawa yang ingin keluar tanpa kendali, dan pada akhirnya hanya suara "ehem" yang ku hasilkan dengan seuntai senyuman di bibir ku. Melihat tingkah laku mereka membuat pandangan ku tertuju pada gadis yang seharusnya menajdi sedikit sensitif pada ku jika hari ini dia ikutan terkena flu terbaru ini. Ku lihat dia bersender pada koridor kelas, sambil beberapa kali mengelus elus layar smartphonenya, desiran angin menerobos masuk ke sela sela lehernya dan otomatis hal itu membuat rambut tergerainya mengibas dengan bebas. Gelang tangan ping itu menambah pesona "loli"nya, walau rambut tergerainya mengurangi secara drastis bahkan membuatnya jauh dari kata imut. Ku lihat dirinya lagi, lagi dan lagi sambil kulanjutkan tulisan ku kali ini. Aku sengaja melakukannya, takut bila dia tahu sedang di perhatikan oleh ku.
Kali ini terlihat agak serius dengan batangan yang ia genggam itu, "mungkin lagi dapet sms met pagi dari pacarnya." pikir ku. Beda dengan ku yang selalu mendapat sms 'selamat, anda memenangkan hadiah kijang inova! Silahkan hubungi bla bla blaa.." membosankan, aku juga ingin mendapat sms "met pagi." tapi apa daya, takdir mengatakan hal sebaliknya. Hahaha
Tak sampai 30 menit, firus itu sudah mulai mereda, lantaran salah seorang korban berkata padaku, "aku udah gak terlalu cuek lagi kok bim." ohh, begitu. Bagus lah, dengan kata lain tulisan ini seharusnya bisa ku hentikan sekarang :)
Kali ini terlihat agak serius dengan batangan yang ia genggam itu, "mungkin lagi dapet sms met pagi dari pacarnya." pikir ku. Beda dengan ku yang selalu mendapat sms 'selamat, anda memenangkan hadiah kijang inova! Silahkan hubungi bla bla blaa.." membosankan, aku juga ingin mendapat sms "met pagi." tapi apa daya, takdir mengatakan hal sebaliknya. Hahaha
Tak sampai 30 menit, firus itu sudah mulai mereda, lantaran salah seorang korban berkata padaku, "aku udah gak terlalu cuek lagi kok bim." ohh, begitu. Bagus lah, dengan kata lain tulisan ini seharusnya bisa ku hentikan sekarang :)
Minggu, 22 Juni 2014
Bintang
Ini terjadi saat menatap langit malam beserta bintangnya merupakan sebuah hobi baru yang kumiliki. Menatap mereka yang bersinar terang di malam yang gelap membuat ku terhanyut dalam pelukan masa lalu. Seperti memasuki sebuah mesin waktu, aku terdampar dalam kesdihan waktu itu. Yap.. Ketika aku masih mencintainya, saat itu menatap bintang masih bukan menjadi hobi ku karena, menatap dia seorang yang ku kasihi jauh lebih penting. Namun, semua berubah saat bintang terakhir muncul di pertengahan bulan mei.
Sebuah angin malam yang dingin merusak jalinan cinta kami, angin malam yang bertiup sangat kencang hingga mampu membawa cinta ku pergi dengannya. Seorang yang datang hanya untuk merusak dan merebut apa yang sebenarnya menjadi milik ku.
Saat itu bintang dalam hatiku sedang bersinar sangat terang, tak ingin lagi kehilangan seorang yang ku cinta. Namun naas, bintang yang paling terang adalah bintang yang mencapai masa - masa terakhirnya. Ketika semua berakhir maka dia akan meledak, membentuk sebuah lubang hitam penuh kebencian menghisap semua amarah dan dendam. Lubang yang kita sebut dengan black hole.
Kini, terdapat lubang hitam yang besar dalam hati ku. Lubang yang mampu menarik sekaligus melumat apa saja yang berada di sekitarnya. Dan kini di malam ini aku berharap akan seseorang yang datang untuk menutup lubang hitam penuh amarah di hati ku, secara keseluruhan tanpa sedikitpun celah yang tersisa. Dan membangun bintang yang baru di sana 'di hati ku' yang mampu menyinari kehidupan ku dan memberi sedikit kehangatan di kala ku terpuluk di malam yang gelap.
Sebuah angin malam yang dingin merusak jalinan cinta kami, angin malam yang bertiup sangat kencang hingga mampu membawa cinta ku pergi dengannya. Seorang yang datang hanya untuk merusak dan merebut apa yang sebenarnya menjadi milik ku.
Saat itu bintang dalam hatiku sedang bersinar sangat terang, tak ingin lagi kehilangan seorang yang ku cinta. Namun naas, bintang yang paling terang adalah bintang yang mencapai masa - masa terakhirnya. Ketika semua berakhir maka dia akan meledak, membentuk sebuah lubang hitam penuh kebencian menghisap semua amarah dan dendam. Lubang yang kita sebut dengan black hole.
Kini, terdapat lubang hitam yang besar dalam hati ku. Lubang yang mampu menarik sekaligus melumat apa saja yang berada di sekitarnya. Dan kini di malam ini aku berharap akan seseorang yang datang untuk menutup lubang hitam penuh amarah di hati ku, secara keseluruhan tanpa sedikitpun celah yang tersisa. Dan membangun bintang yang baru di sana 'di hati ku' yang mampu menyinari kehidupan ku dan memberi sedikit kehangatan di kala ku terpuluk di malam yang gelap.
Rabu, 11 Juni 2014
Burung Dalam Sangkar
Semakin lama pandangan ini tertuju pada mu, semakin menyadarkan diriku bahwa begitu bebasnya hidup mu di luar sana. Tanpa kekangan, aturan maupun norma. Kau hidup dengan sejuta kebahagiaan yang tak ternilai jumlahnya. Semakin aku menatap mu semakin kuat rasa keraguan dalam hati ini, ragu akan apa yang akan keinginan ku untuk memilikimu.
Bagaikan terbang di langit biru yang luas, bersenandung kicau nan indah di telinga. Yahh.. Seperti itulah dirimu, bebas dan bahagia.
Namun setelah melihat mu begitu lama, aku mulai tersadar. "PACAR bukanlah seorang yang bisa melengkapi kekurangan kita, pacar hanyalah seorang yang membatasi kita, mengekang kebebasan kita, dan hanya memberikan kebahagiaan sebatas genggamannya. Dan membuat kita layaknya burung dalam sangkar."
Jadi, bisakah aku memiliki mu?
Bagaikan terbang di langit biru yang luas, bersenandung kicau nan indah di telinga. Yahh.. Seperti itulah dirimu, bebas dan bahagia.
Namun setelah melihat mu begitu lama, aku mulai tersadar. "PACAR bukanlah seorang yang bisa melengkapi kekurangan kita, pacar hanyalah seorang yang membatasi kita, mengekang kebebasan kita, dan hanya memberikan kebahagiaan sebatas genggamannya. Dan membuat kita layaknya burung dalam sangkar."
Jadi, bisakah aku memiliki mu?
Jumat, 06 Juni 2014
Gadis Pendiam dan Pembunuhan Misteri (Bagian II)
Tunggu
dulu, apa dia tadi ada menyebutkan tentang layangan putus? Layangan putus
dengan tali kan? Dan apa yang akan dilakukan seseorang jika layangannya sudah
putus? Wah wahh, jadi begitu ya. Titik terang dari kasus ini sudah mulai
terlihat, dan aku akan membalas semua rasa putus asa ini pada mu. “Lihat saja
nanti, akan kubongkar kejahatan mu.” Ucap ku sinis dalam hati sambil kulihat
wajah Jessica di sudut sana.
…
“Baiklah,
jika seperti ini kasus di tutup.” Ucap detektif Jhon kepada seisi kelas sore
itu. “Jangan, pak detektif. Saya sudah tau dalang dibalik ini semua.” Ucap ku
tegas.
“Bukan kah sudah jelas? Ini
adalah sebuah pembunuhan acak yang dilakukan oleh orang iseng, dan kau sendiri
yang bilang bahwa alibi dari setiap murid sudah sangat jelas, karena kau
sendiri kan yang melarang agar mereka semua tak meninggalkan kelas? Apa ada
penjelasan lain tentang hal ini?” protesnya
“Memang tak ada penjelasan lain
dengan hal ini, tapi tidakkah anda curiga dengan zat luminol pada paku tersebut?”
“Maksud mu?”
“Zat luminol yang tertempel pada
paku terlihat sangat tidak wajar, kenapa? Jika paku yang di gunakan adalah paku
payung, maka kecil kemungkinan batang dari paku tersebut terkena cipratan darah
walau sedikit, mengingat bentuk paku payung yang seperti itu.”
“Lalu?”
“Coba anda ingat kembali saat –
saat kecil anda. Pada saat kecil pernah kah anda bermain layangan?”
“Pernah, memangnya kenapa?”
“Jika layangan anda terbang
sangat tinggi dan seketika putus lantaran ada seseorang yang mengadunya,
bagaimana perasaan anda saat itu?”
“Tentu saja saya sedih.”
“Lalu tindakan apa yang anda
lakukan melihat layangan anda yang sudah terbang jauh meninggalkan tuannya?”
“Tak ada, mungkin aku hanya akan
menggulung sisa tali layangan yang ada. Tunggu dulu, apakah maksud mu zat
luminol yang terletak pada satu satunya paku payung adalah akibat dari
penggulungan tali yang bercampur dengan darah?”
“Tepat sekali, jika seperti itu
kejadiannya. Maka adanya zat luminol pada batang paku akan sangat terbukti.
Disisi lain, ini adalah bukti mengapa paku payung yang satu ini tidak memiliki
bekas ikatan benang, melainkan mengandung zat luminol. Jadi ada kemungkinan
bahwa pelaku menggunakan tali yang sangat panjang dalam aksinya, dan jika
memang seperti itu adanya maka, pembunuhan ini bisa kita simpulkan bukanlah
sebuah pembunuhan secara acak, melainkan pembunuhan yang telah direncanakan.”
“Lalu, bagaimana bisa trik ini
tepat mengenai korban yang diinginkan pelaku?”
“Mudah saja, pertama –tama pelaku
memasang paku payung secara sejajar di masing masing mulut pintu. Kedua, pelaku
mengikatkan benang tajam itu ke paku payung satu, namun hanya menaruhnya saja
untuk paku payung kedua.”
“Mengapa harus paku payung?”
“Agar pelaku tak perlu khawatir
lagi jika benang akan jatuh tertiup oleh angin. Bentuk payung pada paku ia
gunakan sebagai penyagga agar benang tidak jatuh.”
“Lalu kapan si pelaku memasang
trik ini?”
“Tentu saja kemarin saat pulang
sekolah.”
“Bukankah jika seperti itu, trik
akan gagal? Seharusnya akan ada orang yang mati saat kau masuk kelas iya kan?”
“Itu mudah saja, cukup dengan
mengendorkan tali hingga menyentuh lantai, maka trik yang ia gunakan akan aman.”
“Benar juga, lalu bagaimana cara
pelaku meyakinkan agar korban mau berlari dan menemui ajalnya?”
“Korbannya kali ini adalah
seorang gadis, di mana gadis memiliki perasaan yang kuat jika berhubungan
dengan cinta. Menurut saya, cukup dengan mengatakan ‘kekasih mu berselingkuh
dengan wanita lain’ maka korban pun akan berlari secepat yang ia bisa, berlari
dari kenyataan yang ia terima dan siap menuju ajalnya. Walaupun presentase
keberhasilan untuk membuat korban berlari sangatlah kecil namun, melihat watak
korban yang sangat ekspresif akan perasaannya maka presentase pembunuhan pun
menjadi besar.”
“Bagaimana bisa anda tahu watak
yang dimiliki korban seperti itu?”
“Karena, dia menyatakan perasaan
cintanya pada saya dengan ekspresi yang senang. Sangat senang, sehingga saya
tak tau jawaban apa yang akan saya berikan padanya. Dan pada akhirnya, semua
berakhir dengan membekaskan rasa bersalah pada diri saya.”
“Anda menolaknya?”
“Pak, tolong. Ini gak ada
hubungannya sama kasus, plis jangan bikin saya galau.” Kenapa om berkumis ini
bertanya hal yang tak seharusnya? Dasar tukang gosip.
“Oh.. maaf, jadi menurut mu
pelaku menggunakan sebuah trik yang biasa digunakan dalam permainan laying –
laying benar? Bukan kah akan terlihat sangat mencolok jika menggulung benang
dengan tangan kosong? Jika itu terjadi mungkin siswa yang lain akan melihat si
pelaku bukan?”
“Bagus sekali jika anda bertanya
seperti itu, dan saya tambahkan. Ketika benang terputus maka dia akan
menggulung sisa benang yang tidak terikat dengan paku, dan alat yang pelaku
pakai adalah sesuatu yang sudah ia perlihatkan pada kita, yang bisa membuat ia
menggulung benang tanpa memperlihatkan tangannya yang berlumuran darah kepada
kita karena ia bisa menggulung benang di dalam kolong bangku, sungguh alibi
yang sempurna.”
“Maksudmu? Pelakunya, adalah..?”
“Yap, seseorang yang dengan
terang – terangan memperlihatkan barang bukti berharga dan berfikir itu akan
memperkuat alibinya, namun sebenarnya itulah mata berpedang dua baginya.
Jessica KAULAH PELAKUNYA !!”
Terlihat
sekilas wajah kaget Jessica, walaupun dia berusaha keras untuk mengendalikan
dirinya ia tetap mencoba memasang ekspresi dingin.
“Kau berlasan membuang sampah
hasil rautan, berharap selama kejadian pembunuhan berlangsung kami beranggapan
kau sedang menggerot pensil di kolong bangku dan alibi mu sangat sempurna,
melihat jenis penggerot yang kau gunakan tentu saja penggerot itu bisa kau
modifikasi menjadi alat pembunuh yang sangat berbahya. Cih.. jika sekarang
polisi mengecek seluruh tong sampah di
sekolah ataupun menyisiri seluruh area sekolah maka akan di temukan seutas tali
dengan panjang delapan meter sejarak antara pintu masuk dengan bangku mu,
mungkin lebih sedikit agar kau bisa mengendurkan pemasangannya. Dan lagi jika
polisi mengecek penggerot yang kau gunakan, maka akan ditemukannya sebekas
darah di dalamnya. Bagaimana Jessica apa ada yang salah dengan asumsi ku?”
Prok..
prok.. prok, wajah kaget Jessica yang semula kaget dan dingin berubah seketika
menjadi Jessica yang tak aku kenal, wajah tersenyum mengerikan bagaikan tokoh
setan di film. “Tak sedikitpun aku menyangkal asumsi mu, kau benar seratus
persen benar. Akulah pelakunya, aku lah yang membunuh gadis itu, aku hanya
ingin kau merasakan apa yang selama ini ku rasakan. Kau tak tahu kan? Betapa
sakitnya hidup dalam kesendirian dan keheningan? Aku ingin berbagi rasa itu
kepada orang yang aku suka, yaitu kamu! Betapa baiknya diriku ini. Hahahahaha.”
Dia adalah seorang yandere!!
“Kau salah!! Membunuh bukanlah
jalan yang tepat, jika kau memang menyukai ku tak seharusnya kau membagi rasa
sepi mu padaku. Melainkan cobalah keluar dari rasa itu dan bergabunglah bersama
yang lainnya!! Bersenang – senang bersama semuanya! Jika seperti ini hanya akan
menambah rasa sepi mu! Cobalah untuk bersikap dewasa! Berfikirlah sebelum
BERTINDAK !!” Bentakku padanya.
“Apa yang kau bilang? Aku tidak
mengerti, oh salah. Aku tidak peduli, yang ku lakukan semuanya benar. Dia
mencoba memiliki mu dan aku tak akan bisa menerima itu. Dia lebih pantas mati
dibandingkan memiliki mu.” Kali ini tatapan Jessica berubah menjadi kosong
bagaikan zombie.
“Maafkan aku Jessica, kau
bertindak hingga sejauh ini gara – gara aku. Tapi tetap saja alku tidak bisa
menerima mu, kau membunuh dan tak seorangpun akan mempercayaimu lagi. Termasuk
aku..” ucap ku lirih.
Polisi
menggeledah seluruh tong sampah dan sudut sudut sekolah, dan didapatkannya
sebuah benang berukuran kurang lebih delapan meter di toilet wanita, dan
membawa serta penggerot yang di sembunyikan Jessica dalam kolong bangku untuk
di periksa di lab. Dan terbukti terdapat zat luminol pada benang tersebut,
sedangakan darah dalam penggerot pun sudah di cuci bersih meskipun
menginggalkan segores darah di dalamnya. Kasus ini pun di tutup dengan
kepergian Jessica ke kantor polisi.
“Rio, aku mencintai mu!” ucap
Jessica saat melewati ku dengan wajah ceria yang tak pernah kulihat dengan
pemandangan dirinya yang sedang diringkus polisi saat itu. Mungkin dia ingin
meniru apa yang di lakukan Rinea waktu itu. Dan hari ini berkahir dengan damai,
meskipun fikiran tak bisa menerima kata damai tersebut.
“Bagaimana kasusnya kak?” tanya
adik kecilku sesampainya aku dirumah.
“Beres.” Ucap ku singkat.
“Nah kalau gitu, kakak juga harus
beresin nih kasus barunya kakak. Tuh jemuran kelilit benang layangan anak
–anak. Pokoknya kakak harus bersihin sampai gak ada sisa, ngerti? Dan satu lagi
habis beresin itu semua langsung mandi!” perintahnya
“Iya, iya.” Bisa –bisanya yah nih
bocah nyuruh kakaknya yang baru saja melewati sebuah serius, mungkin tak
terpikirkan olenya perasaan apa yang kini ku derita semenjak kejadian tadi.
Chuuuu..
sebuah ciuman melayang di pipiku “Selamat ya kakak ku yang hebat. Aku sangat
menghawatrikan kakak.” Ucapnya penuh bahagia sambil berlalu meninggalkan ku.
Langganan:
Postingan (Atom)