Minggu, 25 Mei 2014

Gadis Pendiam dan Pembunuhan Misteri



                “Jika kau tertarik, maka kemari dan lihatlah.” Katanya sambil berlahan menjauhi ku  di tengah hiruh pikuk aula kala itu.

.
                “Oyyy!!! Bangun cepet bangun, kamu pikir ini sudah jam berapa?!?!” teriakan keras itu membuat ku terbangun, sesaat ku toleh jam wecker di sebelah kasur ku menunjukkan pukul 06.30
“Ohh, aku telat ya?” jawab ku sembari mengedarkan raungan ke seluruh penjuru ruangan
“Kakak, apa yang kamu pikirkan! Cepat mandi atau aku siram pake air nih!!” kini dengan nada yang lebih di tinggikan.
“Iya, iyaa.” Kata ku menyudahi keributan di pagi ini.
                Nama dia Silvia, seorang gadis SMP dengan paras yang lumayan cantik bila ku bandingkan dengan teman temanya, dia memiliki tubuh yang sedang, rambut panjang (sepinggang) berponi, kulit putih dan tinggi yang ideal, senyumnya juga manis akan tetapi akan sangat berbeda jika kau membuatnya marah. Silvia adalah adik sepupu ku, yang sudah dua tahun tinggal dengan ku. Kami tinggal di rumah ayah akan tetapi kami hanya tinggal berdua, ayah ku bekerja sebagai manager sebuah perusahaan di Perancis, sedangkan ibuku bekerja sebagai bawahan ayah ku di perusahaan yang sama. Sudah dua tahun lamanya tak berjumpa dengan mereka, mereka menitipkan Silvia dengan harapan agar aku memiliki seorang yang rajin meneriakiku untuk bangun setiap pagi, yaah.. persis dengan apa yang ia lakukan pagi ini, “Kerja bagus nak” pikir ku saat kudapati diriku tengah menggosok gigi di depan cermin  dengan wajah yang di paksakan untuk terjaga.
“Kakak, cepatlaah! Sarapan sudah siap nih!” teriak adik kecil ku dari dapur.
Aku hanya diam dan melanjutkan aktifitas ku secepat yang ku bisa, kalian tak tahu bagaimana amarah Silvia ketika perkataannya tak dilaksanakan. Dasar gadis kecil yang menyeramkan.
“Nih cepetan di pake.” Serobotnya sesaat aku keluar dari kamar mandi. Terlihat dari penampilannya yang sudah sangat bersiap untuk berangakat sekolah. “Habis dipake, langsung kedapur. Udah aku siapan tuh sarapannya, inget ya GAK PAKE LAMA!” segera ku kenakan baju seragam ku yang sudah ia siapkan ketika ku yakin dia telah keluar dari kamar ku. Setelah bersiap siap kuhampiri dapur dan kudapati adikku sedang menyantap sarapannya sambil menonton sebuah film kartun pagi kesukaannya. Ku hampiri dirinya sambil mengambil beberapa roti dan segelas susu hangat buatannya yang ia letakkan di meja makan.
“Yuk jalan.” Ucap ku seusai melahap sarapan ku pagi ini.
“Yuk” balasnya singkat.
                Nama ku Rio, seorang pelajar SMA tahun ke dua yang selalu tertarik akan sesuatu yang janggal. Bisa dibilang aku penggila misteri, yah jika ada pekerjaan sebagai detektif maka akan aku habiskan seluruh  hidup ku untuk memecahkan kasus. Waah alangkah senangnya jika itu terjadi, oh iya aku hampir lupa kalau hari ini adalah pembukaan dari semester baru. Biasanya sekolah akan mengadakan upacara penerimaan siswa baru serta pembagian kelas dengan kata lain hari ini free, tidak belajar. Senannyaa.
                Deeeggg… “Perasaan apa ini?” aku seperti dapat merasakan aura kesepian yang teramat dalam disekitar ku, ssshhhh.. seorang gadis melintas tepat di belakang ku diantara desakan murid –murid lainnya, yap kami berada di ruang aula dalam acara penerimaan murid baru yang secara otomatis akan membuat para siswa berdesakkan dalam ruangan seluas ini. Aku penasaran akan apa yang aku rasakan, aku harus mencari tau! Ku tengok orang – orang disekitar ku, tak ada! Dimana dia? Seorang dengan aura seperti itu?
“Mencari ku?” sesaat ku mencari ternyata dia sudah berada di hadapan ku dengan senyum yang menusuk hati. Wajahnya putih pucat, badannya mungil disertai paras cantik dengan mata bulat bagai bola bekel berwarna sangat hitam, walaupun saat ini dia sedang tersenyum akan tetapi tatapannya kosong. Sontak aku menoleh ke bawah sekedar memastikan apakah dia benar – benar mahluk hidup seperti ku, kakinya menyentuh ubin aula sesuai dengan apa yang aku harapkan. “Jika kau tertarik, maka kemari dan lihatlah.” Katanya sambil berlahan menjauhi ku  di tengah hiruh pikuk aula kala itu.
                11C pelang yang tertulis tepat di ujung atas dari pintu kelas yang kini berada di hadapanku, yah inilah kelas baru ku dalam tahun ajaran baru ini aku masuk kedalam kelas ini dengan ditemani beberapa orang yang tak ku kenal. Yaah teman – teman ku saat kelas 10 sebagian besar berada di kelas 11A dan tentunya kelas 11A berada sangat jauh dari kelas ini. Aku memasuki ruangan kelas dengan langkah yang mantap, berharap akan menemukan teman yang mengasyikkan seperti tahun lalu. Pandangan ku tertuju pada sorang siswi yang duduk pada bangku di sudut belakang kelas ini, yah dia adalah orang yang tadi! Orang misterius dengan aura yang mengerikan !! segera aku arahkan langkah kaki ku menuju tempat yg tepat berada di sampingnya. Yap aku putuskan untuk duduk disini disebelahnya dan mengawasinya dari dekat. “Tak kusangka kita akan bertemu lagi disini. Kau benar – benar menginginkan ku kan?” ucapnya dengan pandangan kosong lurus kedepan. “Ingin kutunjukkan sesuatu yang menarik? Kelak kau akan mengetahuinya ketika kau merasakan apa yang kurasakan, dan lagi akan kubuat kau merasakannya.” Kini dia berbicara dengan menghadapkan wajahnya kepada ku berhiaskan segaris senyum di bibirnya. Kelas hari ini berakhir dengan sejuta tanya dalam benakku, apa yang dia maksud dan apa yang ia ingin tunjukkan padaku?
                Sebulan berlalu semenjak hari itu, dan selama sebulan penuh pula tak sekalipun suara terlontar dari mulutnya. Yah, dia tak pernah berbicara dia bahkan lebih memilih untuk menulis apa yang ia ingin katakan, untuk menjawab sesuatu yang menurutnya penting untuk dikatakan. Bahkan ia tak pernah berdiri sesenti pun dari tempat duduknya. Tingkahnya membuat ku bertanya, apa yang kini ia rasakan? Apakah gadis ini mengalami gangguan mental? Entah lah.
                “Maukah kau menjadi kekasih ku?” pernyataan seorang siswi sekelas dengan ku yang dengan frontalnya mengatakan kalimat penuh arti di hadapan ku, sejenak aku berfikir untuk siapa kata – kata itu ditujukan dan kusadari bahwa dia serius mengatakannya kepadaku mengingat hanya ada Jessica yang tersisa di dalam kelas, walaupun mungkin Jessica tak mendegarnya tak menutup kemungkinan dia mendengarkannya dengan seksama, tak ada satupun yang mengetahui sifat Jessica sejauh ini. “Ri, Rinea? Apa yang kau katakan? Apa kau serius?” Balas ku pada gadis bermata empat ini.
“Tentu saja aku serius dengan mu Rio! Maukah kau menjadi kekasih ku?” Ulangnya
“Aku tak tahu, aku juga tak yakin akan perasaan ku. Bisa kau beri aku waktu sebentar? Aku masih belum siap jika mendadak seperti ini.” Ucap ku gugup, ini adalah pertama kalinya seorang wanita menyatakan perasaannya kepada ku secara langsung.
“Baiklah, ku tunggu jawaban mu segera.” Jawabnya
Aku hanya membalasnya dengan wajah bingung.
“Hanya itu yang ingin ku katakan, maaf sudah mengganggu waktu mu. Aku akan pulang sekarang.” Katanya sambil meninggalkan ku di koridor kelas. Kembali diriku kedalam kelas untuk merapihkan beberapa buku pelajaran yang masih berserakan di meja ku.
“Kau mendengarnya?” kutujukan untuk satu –satunya orang yang masih tersisa di dalam kelas, dan seperti biasa tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Jessica, gadis misterius yang pernah mengatakan kata – kata aneh padaku.
“Mulai menarik, aku mulai menyukainya.” Kata Jessica, ini adalah kali ketiga dia berkata hal – hal aneh padaku.
“Maksud mu?”
Tanpa jawaban, dan dia berlalu meninggalkan ku dalam kebingungan, sendirian di dalam kelas.


                Kriingg!! Kriiinngg!! Kriingg, “Ooyy, sampai kapan kau akan terus tidur, pemalas!” Bbyyuurr!! “Tuh rasain! Hahahaha!”
“SIILLLLVVVIIIIAAAAAAA!!!!”
                Ruang makan. “Sudah berapa kali aku katakana padamu untuk bangun lebih awal, hah?” omelnya sambil menjilat sendok berisikan penuh selai kacang kesukaannya.
“Bukannya itu memang tugas mu? Dan lagi untuk apa kau lakukan itu di hari minggu! MINGGU!!” ucap ku kesal
“Tak perlu dua kali kau menyebutkannya, aku juga sudah tau. Tapi setidaknya kau bangun lebih pagi sekali – sekali tak masalah kan?”
“Tentu saja itu sebuah masalah!”
“Yaampuun, sudahlah. Sekarang kau cepat rapikan kamar –kamar, dan aku akan memasakkan sesuatu untuk mu.”
“Yah yaahh.”
“Dan satu lagi, ingat janji mu kan?”
“Baik, aku akan mengantarkan mu belanja.”
“Teheee..”
                Terlihat pemandangan renggang dalam supermarket ini, yah.. karena jam segini (13.00) keadaan di supermarket memang sedang sepi – sepinya di bangingkan pagi hari, Silvia tak suka dengan keramaian adik kecil ku ini memang bersifat tertutup dengan orang yang tak dikenalnya. Itulah ala an mengapa dia tak memiliki pasangan sampai saat ini, ah! Mengingat masalah pasangan, aku jadi ragu dengan jawaban apa yang akan kuberikan kepada Rinea. Aku tak tahu apakah aku menyukainya atau tidak.
“Oy, Silvia!”
“Apa?”
“Kau tahu, walaupun sepi ada banyak orang disni. Jadi bisakah kau melepaskan genggaman tangan mu? Malu tau!” sambil ku coba untuk melepaskan tangan dari mahluk ini.
“Biarin! Weeekk! Yang malu siapa?”
“Dasar Jones!”
                Terlihat sosok yang ku kenal di depan sana, Rinea! apa yang sedang ia lakukan disini? bukan, mengapa dia ada disni? “Sil, kita harus cepetan pergi!” kata ku sambil menarik tangannya.
“Ada apa sih kak? Belum juga selesai!” bentak Silvia setelah tak berada dari pandangan Rinea
“Nggak, perasaan ku lagi gak enak nih. Pulang yah!” bujukku. Setelah perselisihan cukup panjang akhirnya Silvia berhasil ku ajak pulang. Ampun, jangan lagi dah!
“Silviaa, malam ini makan apa ya?” teriakku dari kamar sembari mengerjakan PR.
“Ini nih ada sup.” Balasnya, waahh adik kecil yang bisa di andalkan. Yah.. rasa lapar pada perut ku tak bisa di tahankan lagi, dan sekarang juga sudah waktunya makan malam. Ku serobot seperangkat alat makan di dapur dan tak terlupakan sup yang sudah dijanjikan Silvia ku tuangkan dalam mangkuk. Saat kuraih sendok dan membuka panci, aku merasakan ada yang kurang. “Dimana dagingnya!?” ucap ku kaget, “Lah salah sendiri ngajakin pulang, nah sekarang nikmatin tuh menu vegetarian.” Ejeknya, mungkin ini adalah resiko yang harus ku tanggung lantaran tak ingin Rinea salah paham. Apa jadinya jika Rinea sampai melihat ku bergandengan dengan adikku? “Bisa panjang urusannya” gumam ku.


                Pagi ini aku berjalan ke sekolah seperti biasa, “hanya saja ada seorang gadis kecil yang mengikuti ku sambil menggandeng tanganku.” Tatapan mata gadis itu tertuju pada ku, melihat ku dengan penuh rasa curiga. “Kakak lagi ngomongin aku ya?!” oh.. bisa baca pikiran rupanya. Sekolah ku dengan adik manis ku memiliki arah yang sama bahkan tempat yang berdekatan, jadi tak jarang aku berangkat bareng dengannya. Walaupun dia masih seorang bocah SMP, tapi tubuhnya menyerupai anak SMA dan kesalah pahaman oun sering terjadi diantara kami, anehnya Silvia tak pernah menanggapinya dengan serius “Adik yang aneh.” Fikir ku. Sejauh ini tak ada yang aneh hingga suatu hal yang tak diinginkan pun terjadi. Aku berjalan menuju pintu gerbang sekolah ditemani Silvia dengan gandengan tangannya yang erat, dan Rinea tepat berada di depan kami, di depan pintu masuk sekolah ku. Tatapan Rinea sekan – akan tak terima atas apa yang kini ia lihat di depannya, “Sial!” gumamku. Rinea pun langsung berlari ke dalam sekolah, dan sepertinya Silvia tak memperhatikannya “Oh iya kak, aku mau kasih sesuatu nih biar kakak semangat belajarnya. Tutup matanya dulu dong.” Bisa bisanya dia memberiku hadiah, sedangkan seorang gadis sedang bersedih akan kesalah pahamannya sendiri. “Baiklah aku tutup mataku.” Kuikuti perintahnya, mungkin dia hanya memberikan sebuah permen yang ia beli kemarin karena dia sudah biasa melakukan ini. “Cuuuppp..” sebuah ciuman mendarat telak di pipiku
“Oy ngapain sih?!” bentakku
“Hehe.. dah yaa, aku mau sekolah dulu.” Ucapnya dengan enteng.
                Dan dibalik itu semua, seorang memperhatikan kami dari kejauhan. Dengan tatapan penuh keyakinan dan sebuah senyum kemenangan. Jessica, apa yang ia lakukan dengan memperhatikan ku seperti itu?! Apapun itu, masih merupakan sebuah misteri yang ia simpan.
                Sesampainya aku didalam kelas, terlihat sosok Rinea dengan tatapan kosong terduduk di kursinya yang tepat berada di depan tempat duduk Jessica dan pastinya dekat dengan ku. Wajahnya yang selalu menyambut kehadiran ku dengan sebuah senyuman hangat kini berubah dengan tatapan sedih bagaikan orang frustasi. Bagaimana aku menjelaskan kesalah pahaman ini pada Rinea? Jika dia sendiri merasa tertekan seperti itu, ada sebuah niatan untuk menerimanya dalam benakku dan lagi aku tak tega melihat seorang gadis mengalami tekanan seperti ini. Jessica yang duduk tepat di belakangnya hanya diam seperti biasa tanpa melakukan gerakan yang menurutnya tak penting, yah.. memang seperti itulah seharusnya. Dan bunyi bel tanda mulainya pelajaran pun bordering dengan pikiran ku yang tak terfokus pada pelajaran sama sekali.
                “Sreg..” sebuah bunyi yang tak biasa berasal dari sebelah ku tepat dimana Jessica duduk terdengar nyaring ketika jam pelajaran pagi ini usai. Saat kutolehkan hadapan ku kearah sumber bunyi tersebut, kudapati Jessica tak berada disana. “Hey, aku sudah melihat semuanya, apakah kau masih penasaran dengan ku? Apakah kau ingin melihat sesuatu yang menarik? Apakah kau juga ingin merasakan apa yang selama ini kurasakan? Sekarang kau mendapatkannya, apa yang kurasakan kini akan menjadi milik mu.” Sebuah suara yang sudah lama ingin kudengar sekarang mulai berdengungan di telingaku, kusadari bahwa seorang yang ingin kuketahui keberadannya sudah berada di belakang ku, dengan posisi mulut yang sedikit di dekatkan kearah telingaku agar aku bisa mendengar kata – kata yang ia lontarkan.
“Maksud mu?!” teriakku sambil menoleh kebelakang
“Lihat saja nanti.” Ucapnya sambil kembali ketempat duduknya. “Jessica, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” gumam ku penasaran. Pemandangan yang tak biasa lainnya pun terjadi lagi, Jessica yang berwatakan tak ingin mengeluarkan tenaga untuk hal yang menurutnya tak perlu sekarang mulai memajukan posisi tubuhnya dan mendekatkan kepalanya kepada telinga seorang siswi frustasi di depannya. Dia membisikkan sesuatu kepada Rinea, seketika itu pula Rinea mulai menangis dan beranjak dari tempatnya, berlari sekencang mungkin keluar kelas hingga tepat pada pintu kelas yang terbuka lebar. “Zraatttt…” sebuah kepala melayang menuju kelas, sosok wajah dalam kepala itu sangat khas bagi ku. “Riinnneeeaaaaaaaaa!!!” teriakku saat tersadar bahwa sosok wajah dalam kepala tersebut adalah Rinea. Teriakanku pun disambut spontan olah seisi orang dalam kelas, “Semuanya! Harap tenang!” jangan ada satupun yang boleh meninggalkan kelas sebelum polisi datang dan jangan ada yang berani menyentuh ataupun mendekati jasat Rinea!” Peringatan ku mengheningkan kericuhan dalam kelas. Pemandangan seperti ini adalah yang pertama bagi ku, melihat sosok gadis tanpa kepala tergeletak di depan kelas dengan darah yang tercecer dimana – mana, segera aku berlari kedepan kelas dan terlihat kepala Rinea yang terlepas dari tubuhnya dengan wajah yang menghadap padaku menunjukkan ekspresi sedih seakan ingin mengatakan “Rio, aku membenci mu” pada ku. Bayangan ku pun mulai tak terkendali pikiran ku kacau, dan disaat yang sama terlihat senyum bahagia Jessica di sudut ruangan kelas ini tepat di bangkunya terduduk manis sembari melihat pemandangan depan kelas dengan girangnya. “Psikopat! Dia adalah seorang psikopat!” fikir ku, bagaimana dia bisa duduk sambil tersenyum kegirangan sedangkan seorang teman sekelasnya sedang tergeletak tanpa nyawa di hadapannya? Walau aku curiga dengannya, tetapi aku tak bisa membuktikan apapun untuk menuduhnya.
                Beberapa saat kemudian polisi pun datang, dan membeberkan beberapa alat yang digunakan dalam kasus pembunuhan kali ini. Dalam olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) polisi menemukan seutas benang yang terikat pada paku yang tertancap pada tembok, benang yang sangat tipis bagaikan rambut dan memiliki tingkat ketajaman yang melebihi silet. Selain itu polisi juga menemukan dua buah paku paying yang satunya tertancap dengan ikatan tali dan satunya tak berisi ikatan ataupun bekas ikatan, kedua paku tersbut tertancap pada tembok disebelah mulut pintu dan bersebrangan dengan posisi yang sama. Polisi melakukan otopsi pada mayat Rinea dengan membayanya ke rumah sakit terdekat beserta alat pembunuhan setelah memasang garis polisi di depan kelas kami.  “Hmm, menarik.” Gumam seorang pria dengan jaket tebal tak kalah saing dengan kumis panjangnya. Terdapat tulisan detektif pada sisi dada sebelah kiri jaket tersebut dan nama yang bertuliskan Jhon tepat dibawah tulisan detektif. “Adakah yang tahu persis bagaimana peristiwa ini terjadi?” sambungnya. “Saya melihat dengan jelas bagaimana korban tewas, dia berlari kencang dan tiba – tiba, tiba – tiba dia, kepalanya..” tampak wajah ketakutan seorang gadis di kelas ku ketika menjelaskan apa yang ia lihat dan apa yang ia ingat tentang peristiwa tragis di depan matanya.
“Jika di analogikan, korban berlari sangat kencang ke arah pintu yang sudah berisikan benang yang  diikatkan pada dua buah paku yang sudah di persiapkan oleh pelaku.  Jika seperti ini  maka pembunuhan ini adalah pembunuhan acak.” Ungkap detektif tersebut.
“Jika memang ini adalah pembunuhan acak, maka kemungkinan berhasilnya sebuah pembunuhan akan sangat kecil. Mengapa? Karena jika pembunuhan acak akan sangat kecil  kemungkin korban akan berlari, iya kan? Bagaimana jika saat itu korban hanya berjalan, maka yang terjadi adalah benang tersebut tak akan bisa memutus leher korban dan pembunuhan pasti akan gagal total.” Timpal ku.
“Wah, boleh juga kamu anak muda. Lalu bagaimana dengan tali yang diikatkan kepada dua buah paku pada mulut pintu tersebut? Jika kita lihat ini sudah jelas dilakukan secara acak, mungkin saja ada kemungkinan bahwa pelaku tak berniat membunuh korban dan mungkin saja pelaku hanya ingin berbuat iseng.” Jelas detektif ini. Mungkin ada benarnya juga apa yang ia katakan, akan tetapi apa iya seseorang iseng dan tanpa sengaja membunuh orang lain akibat perbuatan isengnya?
“Baiklah, agar leih tepat. Bagaimana jika saya menanyakan alibi tiap – tiap murid kelas ini? Dimulai dari kamu.” Pintanya pada ku.
“Saya hanya terdiam saat itu di bangku saya. Dan menurut saya semua siswa disini melakukan hal yang sama, karena sesaat setelah korban tewas tak ada satupun yang keluar kelas sampai sekarang.” Jelas ku
“Mengapa?”
“Karena saya yang memintanya.”
“Tetapi, pasti ada hal detil yang mereka lakukan kan?”
“Emm, permisi. Bisakah saya membuang sampah sebentar?” potong seorang siswi yang tak lain adalah Jessica dengan sebuah penggerot di tangannya. “Penggerot ini sudah penuh.” Ucapnya kalem.
“Ohh, silahkan.” Balas detektif Jhon.
                Petugas dari tim otopsi pun kembali sesaat setelah Jessica keluar dari kelas menuju tempat sampah yang tepat berada di depan kelas kami, mungkin mereka berpapasan di depan pintu kelas. Mereka menemukan adanya zat luminol pada benang dan sedikit pada masing – masing paku, namun ada yang aneh. Zat luminol pada paku payung tersbut terletak pada bentuk payung dari paku dan untuk paku yang satunya lagi terletak pada bentuk payung dan batang dari paku tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30 sudah tujuh jam kasus ini berlangsung, tanpa titik terang. Jessica pun kembali ke tempat persemayamannya setelah beberapa menit  membuang sampah hasil rautannya.
                “Drrtt.. drrrttt..” sebuah getaran dalam saku celana ku membuyarkan semua pemkikrian dalam kasus ini, segera ku rogoh saku celana dan kudapati sumber getaran tersebut berasal dari handphone ku. Silvia incalling, begitulah yang tertera dalam layar handphone dalam genggaman ini. Segera kuangkat telfon masuk darinya dan,”Kakak! Ada apa disekolah kakak! Kenapa rame? Kenapa ada mobil polisi? Kenapa belum pulang jam segini?” bertubi – tubi pertanyaan dilontarkan oleh adik kecil ku tanpa henti. “Silviaaa, tenang aja. Gak ada apa –apa sama kakak, cuma yaa.. ini ada kasus pembunuhan di kelas. Jadinya kakak pulang agak telat, maaf yaa.. sudah buat kamu khawatir, bisa kakak tutup telfonnya?” balas ku. “Okedeh kak, tapi jemuran dirumah dirumah diobrak – abrik loh sama anak tetangga, gara – gara rebutan layangan putus, jadi cepet pulang ya kak. Oh iya hati – hati yah..” tuut.. tuut.. tuut..
                “Dasar adik aneh, aku kira dia bakal khawatir tentang masalah ku. Eh malah jemuran yang di bahas.” Gumam ku. Tunggu dulu, apa dia tadi ada menyebutkan tentang layangan putus? Layangan putus dengan tali kan? Dan apa yang akan dilakukan seseorang jika layangannya sudah putus? Wah wahh, jadi begitu ya. Titik terang dari kasus ini sudah mulai terlihat, dan aku akan membalas semua rasa putus asa ini pada mu. “Lihat saja nanti, akan kubongkar kejahatan mu.” Ucap ku sinis dalam hati sambil kulihat wajah Jessica di sudut sana.

Tobe Continue ~

 Lanjutannya di tunggu minggu depan yah.. Thanks udah mau kunjungan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar