Selasa, 07 Oktober 2014

Ayah Jangan Jual Sawah Kita (Cerpen Mading)

Ayah Jangan Jual Sawah Kita

Menjadi lulusan terbaik bukanlah akhir maupun hasil yang ku dapat dari apa yang telah ku  lakukan selama ini. Walau tak sedikit biaya, waktu dan tenaga yang ku keluarkan demi itu, namun hal tersebut bukanlah sebuah hal yang patut di banggakan, karena kehidupan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.
            Nama ku Roni, aku baru saja tamat kuliah. Jurusan yang ku ambil adalah jurusan pertanian dan fokusnya adalah perbisnisan, walau tak pernah memegang uang banyak namun menghitung adalah kegemaran ku. Kenangan akan pelemparan topi wisuda masih terngiang – ngiang dibenakku, ah betapa bahagianya saat – saat itu, kini seluruh pengabdian ku selama beberapa tahun belakangan baru akan bisa ku buktikan dan akan ku buat diriku untuk melangkah lebih maju. Aku adalah anak semata wayang dari keluarga petani sederhana di desa, ayah ku setiap harinya hanya menghabiskan waktu berkebun dan bercocok tanam di ladang sedangkan ibu ku hanya tergeletak tak berdaya di rumah, kakinya lumpuh akibat kecelakaan saat di ladang beberapa tahun yang lalu, mengapa tak dibawak ke rumah sakit? Jika kami punya uang yang banyak kami pasti sudah melakukannya. Mengingat keadaan keluarga ku saja sudah membuat ku menitihkan air mata, namun aku tak boleh menyerah akan ku buat keadaan terpuruk keluarga ku sebagai alasan mengapa aku harus merantau ke kota dan menuntut ilmu demi hal tersebut.
            Sekarang aku berada di terminal, sudah kuputuskan sejak awal untuk segera mungkin balik ke desa begitu kuliah ku selesai. Seperti biasa aku selalu tertidur ketika sedang berada di bis, jika aku terjaga yang akan terjadi malah akan semakin buruk, karena aku mabuk perjalanan terutama jalanan di kota, penuh asap kendaraan, suara bising dari klakson, pedagang yang sesekali seenaknya masuk ke bis dan berteriak menjual dagangannya dan pemandangan gedung – gedung yang sangat tinggi hanya membuat kepalaku bertambah pusing, aku tahu itu adalah hal wajar yang terjadi di kota dan aku sudah sering mengalaminya beberapa tahun belakangan ini namun aku tetap tak terbiasa dengan keadaan perjalanan seperti ini.
            Beberapa jam di perjalanan akhirnya aku terbangun, seharusnya aku sudah bisa melihat beberapa petak sawah dari dalam bis ini, namun sampai saat ini belum mungkin rasanya jika aku masih belum sampai di kawasan pedesaan, waktu demi waktu berlalu tetapi entah mengapa aku tak melihat sepetak sawah pun, hanya bangunan – bangunan rumah dan ruko kecil yang kulihat sejauh ini. “Apa ini? bukankah seharusnya jalan ini berada diantara petak sawah? Atau aku salah naik bis?” Gumam ku. Ku putuskan untuk membuang rasa penasaran ku dan bertanya kepada kernet yang sedari tadi duduk manis di depan, “Adik tidak salah naik bis kok.” Jawabnya singkat namun penuh dengan arti yang sangat dalam, mendengar jawaban darinya kuputuskan untuk duduk kembali dan memikirkan dalam – dalam apa yang sebenarnya terjadi, “Seharusnya di sana ada pohon beringin yang besar.” Gumam ku ketika bis yang ku tumpangi melewati sebuah rumah bertingkat, pemandangan itu membuat ku berpikir lebih keras hingga membuat kepalaku pusing sendiri namun sekarang sudah menuju pada sebuah kesimpulan, yaitu “Alih fungsi lahan.” Ucap ku.
            Tanah yang seharusnya digunakan petani desa untuk menanam padi dan sayuran kini berganti menjadi beton, “Apakah kalian akan memanen beton tersebut? Atau kalian akan memakannya?” Pikir ku sinis akan kekecewaan ku terhadap penduduk di desa. Kekesalan ku memuncak ketika melihat ayah ku sedang berunding dengan seorang pria ber jas hitam lengkap dengan kaca mata dan tas koper pada genggamannya, segera mungkin aku berlari kearahnya dan berteriak, “Ayah jangan jual sawah kita!!” mendengar teriakan ku tubuh ayah mulai gemetar dan memalingkan wajahnya ke arah ku mulutnya menganga dan matanya mulai berair, “Roni!” Ucapnya ketika tubuhnya berada dalam pelukan ku, “Ku mohon ayah, jangan jual sawah yang kita miliki. Bukankah ayah makan dari sana? Ingatkah ayah ketika kita bermain bersama di sana? Dan bukankah dari sawah itu juga biaya pendidikan ku berasal? Jadi kumohon jangan buang satu – satunya harta yang kita miliki.” Ucap ku padanya, kurasakan bibir ku bergetar. Ku akui aku sangat takut kehilangan sawah ku, penghidupan ku sebagai seorang anak petani. “Jadi bagai mana pak? Apa bisa saya beli tanah ini?” Tanya pria berjas hitam itu. “Maaf pak, saya urungkan niat saya untuk menjualnya.” Balas ayah dengan pelukannya yang semakin kuat mencengkram tubuh ku. “Baiklah.” Pria itu menginggalkan ku dan ayah dengan sedikit kekesalan yang tertoreh di wajahnya. Aku akan melindungi tanah ku, apapun yang terjadi akan kubuktikan bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan yang patut untuk diremehkan.
            “Mengapa ayah mau menjual tanah kita?” Tanya ku sesampainya di dalam rumah. “Karena kita perlu uang nak untuk pengobatan ibu mu.” Jawabnya dengan nada yang sedikit menyesal. “Apakah ayah sedang terbelit hutang atau yang lainnya?” Tanya ku balik, “Tentu saja tidak, seburuk apapun kondisi keuangan ayah. Ayah tidak akan meminjam uang jika ayah tak bisa membayarnya.” Aku menyukai sifat ayah yang satu ini, meminjam tanpa mengembalikan bukanlah suatu hal yang dapat ditiru, itu adalah sifat tak bertanggung jawab dan aku ingin menjadi lelaki yang bertanggung jawab untuk diriku keluargaku dan masyarakat. “Jadi bagaimana?” Tanya ayah padaku. “Tenang saja, aku sudah mendapatkan ilmu yang cukup untuk membangun sebuah usaha demi menyelamatkan tanah kita, dan mari kita mulai semua dari hal yang paling kecil dahulu, mari kita kembang biakkan tanaman ini dahulu.” Ku keluarkan bibit tanaman anggrek yang sedari tadi terbungkus dengan tas kresek oleh ku. “Dari mana kau mendapatkannya nak?” “Ini kudapatkan dari salah seorang dosen ku, dia memberi ku ini karena menurutnya nilai ku bagus – bagus. Yah, aku berjuang demi yang terbaik di sana.” “Ayah bangga pada mu nak.” “Sekarang bukanlah saatnya untuk berbangga diri ayah, hal yang sebenarnya baru saja akan dimulai dari detik ini dan kita akan berjuang demi yang terbaik dan demi ibu juga. Oh iya ibu dimana?” “Ibu sedang tidur di kamar, mau lihat?” “Pasti!”
            Terlihat sosok wanita tua yang sangat ku kenal wajahnya sedang tidur nyenyak ketika ku masuki ruangan penuh kenangan ini tubuhnya lemah, kulitnya penuh keriput, rambutnya putih, seluruh perawakannya tak jauh beda dengan pria yang kini berdiri di sebelah ku, ayah. Ya ini adalah kamar orang tua ku, kamar yang membuatku tidur lebih baik ketika aku takut untuk tidur sendiri, biasanya hal ini terjadi jika Budi teman kecil ku mulai bercerita tentang hantu saat kami bosan bermain. Tanpa terasa air mata ku mulai mengalir kembali, memori indah masa kecil ku terputar kembali dalam benakku bagai kaset kusam yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam, membawa ku kembali pada kenangan – kenangan indah pada ruangan pada rumah tua ini. “Ibu, aku pulang.” Ucap ku. “Roni? Kau kah itu?” Tanya nya. “Iya bu, ini aku Roni.” Jawab ku. “Kau tahu? Berapa lama ibu menunggu mu nak?” Tanya ibu kembali. “Maafkan aku telah meninggalkan ibu dengan waktu yang sangat lama.” Jawab ku dengan air mata yang kembali membasahi pipi, sejak kapan aku menjadi secengeng ini? “Haha, ibu tak apa – apa nak, hanya saja ibu terlalu senang masih sempat untuk bertemu dengan mu lagi. Karena, waktu ibu sudah tak banyak. Uhuk uhuk.” “Ah!? Maksud ibu?” Perkataan ibu barusan membuat ku sedikit kecewa dan geram. “ “Yah, jaga anak kita ya.” Ucap ibu, suaranya menjadi semakin kecil. “Ayah!? Apa maksud dari semua ini!? Ayah!?” Ayah memalingkan wajahnya, terlihat raut kesedihan di balik gambaran ekspresi itu. Apakah ini yang di sebut dengan akhir? Dan saat kutoleh ibu, dia sudah tak berbicara bibirnya tertutup rapat tak kalah rapat dengan matanya tangannya menggenggam ku dan dia sudah benar – benar tertidur, dia akan tertidur dalam waktu yang sangat lama dan itu membuat ku sangat sedih terutama karena aku tak sempat mengatakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya.
            Aku tak habis pikir, ketika ayah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Ibu berjuang menahan rasa sakitnya dan menekan seluruh biaya pengobatan demi biaya sekolah ku, karenanya penyakit ibu menjadi semakin parah dan karena itulah ayah ingin menjual tanah kita. Sungguh berat perjuangan kedua orang tua ku, aku tak menyangka kepergian ku membuat keadaan menjadi seperti ini, tekad ku semakin kuat untuk merubah nasib keterpurukan keluarga ku, lihat saja nanti akan ku buktikan petani juga bisa memakai jas seperti makelar tanah kemarin.
            “Lalu, berapa orang petani yang masih bertahan dengan lahan sawah mereka yah?” tanya ku, “Um, sekitar 75 orang.” Jawabnya. “Ugh! Sedikit sekali? Tidak apa – apa, apakah lahan mereka masih aktif? Maksud ku masih bisa panen dengan hasil yang bagus.” Tanya ku lagi, “Ya, lahan mereka masih bisa menghasilkan, tanah mereka masih gembur dan hidup mereka ditaruhkan pada tanah itu.” “Baiklah kurasa itu cukup.” Jawab ku sambil membuka tas besar yang ku miliki, “Ini aku memiliki sejumlah uang, selama di kota aku bekerja sambilan, mengajar les, menjadi karyawan honorer dan masih banyak lagi. Jadi rencana ku sekarang adalah membeli seluruh hasil panen para petani dan menjualnya ke kota.” “Lalu bagaimana kau akan membawanya?” “Mang Hidin masih memiliki mobil truknya kan? Kita akan sewa itu beserta supirnya, kemudian akan ku jual dengan seorang bos super market dengan harga tipis di atas modal, hasil penjualan dari pembelian panen petani akan kita putar menjadi modal untuk terus membeli panen mereka dan keuntungan tipisnya akan kita pakai untuk biaya sewa mobil supir beserta buruhnya.” Jelas ku, “Lalu bagaimana dengan keuntungan kita?” “Aku tadi menjelaskan bahwa yang kita pergunakan adalah hasil penjualan dari panen petani, bagaimana dengan panen kita sendiri? Panen kita sendiri itulah keuntungan kita ayah dan apakah ayah tahu? Sisa uang dari ongkos mobil supir dan buruh bisa kita gunakan untuk keperluan tani kita.” Mendengar penjelasan panjang lebar ku mata ayah terbuka dan berbinar. “Kau benar nak! Kau benar!!” Ucapnya bersemangat, “Tetapi, untuk sementara ini apakah ayah masih kuat bertani?” Tanya ku, “Tentu saja! Ayah masih kuat!!.” “Aku akan jamin, kita hanya akan bertani pada awal panen, sisanya? Tidak! Aku tak ingin ayah kelelahan, kita akan gunakan keuntungan kita untuk menyewa petani garapan, sementara waktu ayo kita olah lahan pertanian kita. Oh iya, seiring berjalannya waktu aku akan mengembangkan tanaman anggrek yang ku bawa karena ini akan menjadi modal tambahan untuk usaha kita ayah. Ayah tahu, kalau harga tanaman hias seperti ini sangat mahal jika kita menjualnya di kota. Mari kita berjuang ayah!” Ucap ku menggebu – gebu yang kemudian dibalas ayah dengan anggukan yang mantap.
            Keringat bercucuran pada leher dan kening pria tua yang kini sedang berbungkuk di hadapan ku, wajahnya yang semakin lama mulai kusam dan penuh keriput itu menyadarkan ku bahwa setiap manusia akan mengalami hal yang sama karena waktu terus berputar tak peduli apapun yang terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya ataupun memutarnya balik terlebih lagi untuk mengulangnya mengulangnya, apakah waktu seegois itu? Kurasa jawabannya iya, waktu memang sesuatu yang egois, waktu lah yang menyebabkan kematian ibu dan karena waktu lah aku harus merasakan sakit akan pedihnya kehilangan. Masih tertuju pandangan ku terhadap pria tua di hadapan ku, dari raut wajahnya dia terlihat sangat kelelahan tetapi ekspresinya menunjukkan sebuah kebahagiaan. “Ayah apa yang sedang ayah pikirkan?” tanya ku, “Tidak, hanya saja ayah sangat senang kau membantu ayah bekerja di sawah.” Jawabnya, “Tentu saja aku akan membantu ayah, aku kan anak ayah.” “Hahaha, maksud dari perkataan ayah bukan untuk menyindir mu, hanya saja selama ini ayah bekerja sendiri sebelum hal yang buruk terjadi pada ibu mu, ayah sangat merindukannya nak.” Ucapnya dengan nada suara yang sedikit bergetar, dia pasti sedang merasa sedih, “Aku juga  merindukan ibu yah, sangat merindukannya. Tetapi ayah tak perlu cemas, karena sekarang aku berada disisi ayah, bersama kita berdua akan merubah nasib dan nasib para petani di desa ini dan menekan usaha para makelar tanah itu dalam usahanya untuk mengubah alih fungsi lahan! Kita akan pertahankan tanah hijau desa kita, bersama – sama ayah kau dan aku anak mu.” “Ya, kau benar nak!” Ucap ayah dengan tangannya terkepal tanda jiwa kini dengan penuh semangat.
            Daun – daun padi semakin menguning dan burung – burung nakal mulai berterbangan hampir di setiap petak sawah adalah pertanda bahwa sebentar lagi waktu panen tiba, perasaan ku mulai semangat dan terus bertambah semangat seiring bergantinya hari mengingat pengorbanan ku selama bertahun – tahun ini akan mencapai puncaknya dan pertaruhan ku dengan waktu akan menuai hasil, ku langkahkan kaki dengan semangat dan mantap menuju sawah pagi itu menghirup udara segar sebanyak dan sedalam mungkin mengingat hal ini akan menjadi luar biasa, namun di tengah kegembiraan ku sosok ayah tak urung jua keluar dari rumah, mungkin dia terlalu lelah. Baiklah, akan ku selesaikan pekerjaan hari ini sendiri. Hari berganti siang berlanjut sore, namun ayah belum juga keluar dari kamarnya. Kuputuskan untuk segera mungkin menyelesaikan pekerjaan ku dan melihat kondisi ayah, benar saja ayah masih berbaring di atas tempat tidur, badannya berkeringat dan tubuhnya sedikit menggigil, suhu badannya terasa sangat panas ketika ke sentuh dan semua hal tersebut membawa ku kepada satu kesimpulan, dia sakit. “Ayah, aku akan membawa mu ke dokter.” Ucap ku sambil mencoba untuk menggendongnya, “Tidak nak, tak usah kau repotkan dirimu untuk seorang pria tua seperti ku.” Jawabnya yang kini sudah ku lingkari tangannya di leher ku tanda bahwa dia siap ku angkut, dari sini hawa panas dalam tubuh ayah sangat terasa, sampai punggung ku merasa hangat. Di saat yang bersamaan hal yang tak diinginkan terjadi, hujan turun di tengah – tengah perjalanan ku, air hujan perlahan merambat membasahi tubuh ayah dan itu membuat ku lebih panik, “Maafkan ayah karena tak bisa menjaga ibu mu Roni.” Ucapnya di tengah – tengah kepanikan ku, “Apa yang ayah katakan!? Ayah jangan banyak bicara dulu, tempat untuk mu berobat tinggal sedikit lagi.” Jawab ku dengan nada yang agak tinggi, ku akui aku sangat panik kali ini, ditambah hujan yang semakin deras hanya memperkeruh suasana. “Mungkin inilah balasan setimpal yang harus ku terima karena tak berhasil menjaga ibumu. Ayah merasa sangat bersalah, ayah minta maaf pada mu yang sebesar besarnya. Uhuk uhuk.” Ucapannya kini membuat ku menangis. Ya, aku menangis di tengah hujan deras sambil menggendong ayah di punggung ku. “Ayah, kumohon berhentilah untuk berbicara sebentar, karena tempat untuk berobat tinggal sedikit lagi.” Ucap ku sambil merengek, “Roni anakku, gapailah semua keinginan mu. Ubahlah nasib mu dan nasib para petani, sesuai dengan yang pernah kau katakan pada ku dulu, aku bangga memiliki anak seperti mu Roni. Berusahalah yang terbaik dan kau tak perlu mencemaskan ibu mu lagi, karena sebentar lagi ayah akan menyusul ibumu juga lalu menjaganya seperti dahulu. Roni, selamat tinggal.” Ucapannya terhenti tepat di depan pintu masuk puskesmas, detak jangtungnya yang sedari tadi terasa berdenyut pelan di bahuku kini sudah tak terasa lagi. Lagi, hal ini terulang kembali, orang tua ku pergi meninggalkan ku dengan mengucapkan banyak kalimat yang menyayat hati, lagi dan kembali lagi mereka pergi tanpa sempat ku ucapkan apalagi untuk ku buktikan, betapa aku sangat mencintai dan menyayangi mereka. Mengapa? Mengapa waktu tak pernah bertindak adil padaku, bila saja dia memberi ku sedikit kesempatan mungkin ayah akan sempat untuk dirawat mungkin juga ayah akan bisa menikamti masa – masa tuanya dengan perubahan yang selalu kami dambakkan. Tetapi sepertinya aku memang harus lebih bisa sabar untuk menerima semua ini, baiklah akan ku jawab seluruh permintaan mu ayah. Akan kuubah nasib keterpurukan ku begitu juga nasib para petani. Dengan begitu, peralihan fungsi tanah yang mematikan sebagian lahan hijau desa kita akan bisa ku hentikan. Ayah, ibu lihatlah nanti.
            “Tuan, ekspor ke negara Thailand berjalan dengan mulus, dan mereka menerima barang kita.” Ucap seseorang di seberang telepon, “Bagus, terimakasih atas informasinya.” Tuut. Tanda bahwa perbincangan kami selesai, kini apa yang selalu ku dambakkan akhirnya terwujud. Jas hitam yang kini ku kenakan tak kalah hebatnya dengan para makelar tanah itu gunakan dan hasil dari ekspor lahan pertanian ku semakin meningkat, tanaman anggrek yang ku miliki kini sudah berkembang menjadi berbagai jenis tanaman cantik yang lainnya dan pastinya mereka semua adalah penghasilan terbesar kedua ku. Kini hidupku serba berkecukupan, aku memiliki hampir lima ratus truk pengangkut barang dan seratus mobil kontainer pribadi, orang – orang yang bekerja untukku sudah mencapai ribuan, dan kini tugas ku hanya untuk mengatur mereka, “Ayah, Ibu. Sekarang aku sudah menjadi seperti apa yang kalian inginkan, terima kasih karena doa kalian aku bisa menjadi seperti sekarang ini dan untuk ayah, apa yang kita idamkan selama ini sudah ku capai, ini adalah prestasi yang sangat gemilang untukku, benar aku sudah berhasil menekan peralihan fungsi lahan, walau memang agak sulit, namun aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membuat hal tersebut benar – benar berhenti. Oh iya, aku berjanji tak akan menumpahkan seluruh kekesalan ku pada waktu lagi, karena selama ini aku belajar darinya. Belajar dari waktu ku di masa lalu belajar karena banyak orang mengatakan kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Ayah, Ibu aku sayang kalian.”
Tamat

Jumat, 08 Agustus 2014

semntara itu ketika jam istiahat

Entah perasaan ku aja, atau hari ini  para cewek di kelas ku pada sensitif sama mantannya. Walau aku gak termasuk dalam hal ganjil kali ini, tapi sedikit lucu juga. Beberapa kali aku harus dengan terpaksa menahan tawa yang ingin keluar tanpa kendali, dan pada akhirnya hanya suara "ehem" yang ku hasilkan dengan seuntai senyuman di bibir ku. Melihat tingkah laku mereka membuat pandangan ku tertuju pada gadis yang seharusnya menajdi sedikit sensitif pada ku jika hari ini dia ikutan terkena flu terbaru ini. Ku lihat dia bersender pada koridor kelas, sambil beberapa kali mengelus elus layar smartphonenya, desiran angin menerobos masuk ke sela sela lehernya dan otomatis hal itu membuat rambut tergerainya mengibas dengan bebas. Gelang tangan ping itu menambah pesona "loli"nya, walau rambut tergerainya mengurangi secara drastis bahkan membuatnya jauh dari kata imut. Ku lihat dirinya lagi, lagi dan lagi sambil kulanjutkan tulisan ku kali ini. Aku sengaja melakukannya, takut bila dia tahu sedang di perhatikan oleh ku.
Kali ini terlihat agak serius dengan batangan yang ia genggam itu, "mungkin lagi dapet sms met pagi dari pacarnya." pikir ku. Beda dengan ku yang selalu mendapat sms 'selamat, anda memenangkan hadiah kijang inova! Silahkan hubungi bla bla blaa.." membosankan, aku juga ingin mendapat sms "met pagi." tapi apa daya, takdir mengatakan hal sebaliknya. Hahaha
Tak sampai 30 menit, firus itu sudah mulai mereda, lantaran salah seorang korban berkata padaku, "aku udah gak terlalu cuek lagi kok bim." ohh, begitu. Bagus lah, dengan kata lain tulisan ini seharusnya bisa ku hentikan sekarang :)

Minggu, 22 Juni 2014

Bintang

Ini terjadi saat menatap langit malam beserta bintangnya merupakan sebuah hobi baru yang kumiliki. Menatap mereka yang bersinar terang di malam yang gelap membuat ku terhanyut dalam pelukan masa lalu. Seperti memasuki sebuah mesin waktu, aku terdampar dalam kesdihan waktu itu. Yap.. Ketika aku masih mencintainya, saat itu menatap bintang masih bukan menjadi hobi ku karena, menatap dia seorang yang ku kasihi jauh lebih penting. Namun, semua berubah saat bintang terakhir muncul di pertengahan bulan mei.

Sebuah angin malam yang dingin merusak jalinan cinta kami, angin malam yang bertiup sangat kencang hingga mampu membawa cinta ku pergi dengannya. Seorang yang datang hanya untuk merusak dan merebut apa yang sebenarnya  menjadi milik ku.
Saat itu bintang dalam hatiku sedang bersinar sangat terang, tak ingin lagi kehilangan seorang yang ku cinta. Namun naas, bintang yang paling terang adalah bintang yang mencapai masa - masa terakhirnya. Ketika semua berakhir maka dia akan meledak, membentuk sebuah lubang hitam penuh kebencian menghisap semua amarah dan dendam. Lubang yang kita sebut dengan black hole.

Kini, terdapat lubang hitam yang besar dalam hati ku. Lubang yang mampu menarik sekaligus melumat apa saja yang berada di sekitarnya. Dan kini di malam ini aku berharap akan seseorang yang datang untuk menutup lubang hitam penuh amarah di hati ku, secara keseluruhan tanpa sedikitpun celah yang tersisa. Dan membangun bintang yang baru di sana 'di hati ku' yang mampu menyinari kehidupan ku dan memberi sedikit kehangatan di kala ku terpuluk di malam yang gelap.

Rabu, 11 Juni 2014

Burung Dalam Sangkar

Semakin lama pandangan ini tertuju pada mu, semakin menyadarkan diriku bahwa begitu bebasnya hidup mu di luar sana. Tanpa kekangan, aturan maupun norma. Kau hidup dengan sejuta kebahagiaan yang tak ternilai jumlahnya. Semakin aku menatap mu semakin kuat rasa keraguan dalam hati ini, ragu akan apa yang akan keinginan ku untuk memilikimu.


Bagaikan terbang di langit biru yang luas, bersenandung kicau nan indah di telinga. Yahh.. Seperti itulah dirimu, bebas dan bahagia.
Namun setelah melihat mu begitu lama, aku mulai tersadar. "PACAR bukanlah seorang yang bisa melengkapi kekurangan kita, pacar hanyalah seorang yang membatasi kita, mengekang kebebasan kita, dan hanya memberikan kebahagiaan sebatas genggamannya. Dan membuat kita layaknya burung dalam sangkar."


Jadi, bisakah aku memiliki mu?

Jumat, 06 Juni 2014

Gadis Pendiam dan Pembunuhan Misteri (Bagian II)



                Tunggu dulu, apa dia tadi ada menyebutkan tentang layangan putus? Layangan putus dengan tali kan? Dan apa yang akan dilakukan seseorang jika layangannya sudah putus? Wah wahh, jadi begitu ya. Titik terang dari kasus ini sudah mulai terlihat, dan aku akan membalas semua rasa putus asa ini pada mu. “Lihat saja nanti, akan kubongkar kejahatan mu.” Ucap ku sinis dalam hati sambil kulihat wajah Jessica di sudut sana.


                “Baiklah, jika seperti ini kasus di tutup.” Ucap detektif Jhon kepada seisi kelas sore itu. “Jangan, pak detektif. Saya sudah tau dalang dibalik ini semua.” Ucap ku tegas.
“Bukan kah sudah jelas? Ini adalah sebuah pembunuhan acak yang dilakukan oleh orang iseng, dan kau sendiri yang bilang bahwa alibi dari setiap murid sudah sangat jelas, karena kau sendiri kan yang melarang agar mereka semua tak meninggalkan kelas? Apa ada penjelasan lain tentang hal ini?” protesnya
“Memang tak ada penjelasan lain dengan hal ini, tapi tidakkah anda curiga dengan zat luminol pada paku tersebut?”
“Maksud mu?”
“Zat luminol yang tertempel pada paku terlihat sangat tidak wajar, kenapa? Jika paku yang di gunakan adalah paku payung, maka kecil kemungkinan batang dari paku tersebut terkena cipratan darah walau sedikit, mengingat bentuk paku payung yang seperti itu.”
“Lalu?”
“Coba anda ingat kembali saat – saat kecil anda. Pada saat kecil pernah kah anda bermain layangan?”
“Pernah, memangnya kenapa?”
“Jika layangan anda terbang sangat tinggi dan seketika putus lantaran ada seseorang yang mengadunya, bagaimana perasaan anda saat itu?”
“Tentu saja saya sedih.”
“Lalu tindakan apa yang anda lakukan melihat layangan anda yang sudah terbang jauh meninggalkan tuannya?”
“Tak ada, mungkin aku hanya akan menggulung sisa tali layangan yang ada. Tunggu dulu, apakah maksud mu zat luminol yang terletak pada satu satunya paku payung adalah akibat dari penggulungan tali yang bercampur dengan darah?”
“Tepat sekali, jika seperti itu kejadiannya. Maka adanya zat luminol pada batang paku akan sangat terbukti. Disisi lain, ini adalah bukti mengapa paku payung yang satu ini tidak memiliki bekas ikatan benang, melainkan mengandung zat luminol. Jadi ada kemungkinan bahwa pelaku menggunakan tali yang sangat panjang dalam aksinya, dan jika memang seperti itu adanya maka, pembunuhan ini bisa kita simpulkan bukanlah sebuah pembunuhan secara acak, melainkan pembunuhan yang telah direncanakan.”
“Lalu, bagaimana bisa trik ini tepat mengenai korban yang diinginkan pelaku?”
“Mudah saja, pertama –tama pelaku memasang paku payung secara sejajar di masing masing mulut pintu. Kedua, pelaku mengikatkan benang tajam itu ke paku payung satu, namun hanya menaruhnya saja untuk paku payung kedua.”
“Mengapa harus paku payung?”
“Agar pelaku tak perlu khawatir lagi jika benang akan jatuh tertiup oleh angin. Bentuk payung pada paku ia gunakan sebagai penyagga agar benang tidak jatuh.”
“Lalu kapan si pelaku memasang trik ini?”
“Tentu saja kemarin saat pulang sekolah.”
“Bukankah jika seperti itu, trik akan gagal? Seharusnya akan ada orang yang mati saat kau masuk kelas iya kan?”
“Itu mudah saja, cukup dengan mengendorkan tali hingga menyentuh  lantai, maka trik yang ia gunakan akan aman.”
“Benar juga, lalu bagaimana cara pelaku meyakinkan agar korban mau berlari dan menemui ajalnya?”
“Korbannya kali ini adalah seorang gadis, di mana gadis memiliki perasaan yang kuat jika berhubungan dengan cinta. Menurut saya, cukup dengan mengatakan ‘kekasih mu berselingkuh dengan wanita lain’ maka korban pun akan berlari secepat yang ia bisa, berlari dari kenyataan yang ia terima dan siap menuju ajalnya. Walaupun presentase keberhasilan untuk membuat korban berlari sangatlah kecil namun, melihat watak korban yang sangat ekspresif akan perasaannya maka presentase pembunuhan pun menjadi besar.”
“Bagaimana bisa anda tahu watak yang dimiliki korban seperti itu?”
“Karena, dia menyatakan perasaan cintanya pada saya dengan ekspresi yang senang. Sangat senang, sehingga saya tak tau jawaban apa yang akan saya berikan padanya. Dan pada akhirnya, semua berakhir dengan membekaskan rasa bersalah pada diri saya.”
“Anda menolaknya?”
“Pak, tolong. Ini gak ada hubungannya sama kasus, plis jangan bikin saya galau.” Kenapa om berkumis ini bertanya hal yang tak seharusnya? Dasar tukang gosip.
“Oh.. maaf, jadi menurut mu pelaku menggunakan sebuah trik yang biasa digunakan dalam permainan laying – laying benar? Bukan kah akan terlihat sangat mencolok jika menggulung benang dengan tangan kosong? Jika itu terjadi mungkin siswa yang lain akan melihat si pelaku bukan?”
“Bagus sekali jika anda bertanya seperti itu, dan saya tambahkan. Ketika benang terputus maka dia akan menggulung sisa benang yang tidak terikat dengan paku, dan alat yang pelaku pakai adalah sesuatu yang sudah ia perlihatkan pada kita, yang bisa membuat ia menggulung benang tanpa memperlihatkan tangannya yang berlumuran darah kepada kita karena ia bisa menggulung benang di dalam kolong bangku, sungguh alibi yang sempurna.”
“Maksudmu? Pelakunya, adalah..?”
“Yap, seseorang yang dengan terang – terangan memperlihatkan barang bukti berharga dan berfikir itu akan memperkuat alibinya, namun sebenarnya itulah mata berpedang dua baginya. Jessica KAULAH PELAKUNYA !!”
                Terlihat sekilas wajah kaget Jessica, walaupun dia berusaha keras untuk mengendalikan dirinya ia tetap mencoba memasang ekspresi dingin.
“Kau berlasan membuang sampah hasil rautan, berharap selama kejadian pembunuhan berlangsung kami beranggapan kau sedang menggerot pensil di kolong bangku dan alibi mu sangat sempurna, melihat jenis penggerot yang kau gunakan tentu saja penggerot itu bisa kau modifikasi menjadi alat pembunuh yang sangat berbahya. Cih.. jika sekarang polisi mengecek  seluruh tong sampah di sekolah ataupun menyisiri seluruh area sekolah maka akan di temukan seutas tali dengan panjang delapan meter sejarak antara pintu masuk dengan bangku mu, mungkin lebih sedikit agar kau bisa mengendurkan pemasangannya. Dan lagi jika polisi mengecek penggerot yang kau gunakan, maka akan ditemukannya sebekas darah di dalamnya. Bagaimana Jessica apa ada yang salah dengan asumsi ku?”
                Prok.. prok.. prok, wajah kaget Jessica yang semula kaget dan dingin berubah seketika menjadi Jessica yang tak aku kenal, wajah tersenyum mengerikan bagaikan tokoh setan di film. “Tak sedikitpun aku menyangkal asumsi mu, kau benar seratus persen benar. Akulah pelakunya, aku lah yang membunuh gadis itu, aku hanya ingin kau merasakan apa yang selama ini ku rasakan. Kau tak tahu kan? Betapa sakitnya hidup dalam kesendirian dan keheningan? Aku ingin berbagi rasa itu kepada orang yang aku suka, yaitu kamu! Betapa baiknya diriku ini. Hahahahaha.” Dia adalah seorang yandere!!
“Kau salah!! Membunuh bukanlah jalan yang tepat, jika kau memang menyukai ku tak seharusnya kau membagi rasa sepi mu padaku. Melainkan cobalah keluar dari rasa itu dan bergabunglah bersama yang lainnya!! Bersenang – senang bersama semuanya! Jika seperti ini hanya akan menambah rasa sepi mu! Cobalah untuk bersikap dewasa! Berfikirlah sebelum BERTINDAK !!” Bentakku padanya.
“Apa yang kau bilang? Aku tidak mengerti, oh salah. Aku tidak peduli, yang ku lakukan semuanya benar. Dia mencoba memiliki mu dan aku tak akan bisa menerima itu. Dia lebih pantas mati dibandingkan memiliki mu.” Kali ini tatapan Jessica berubah menjadi kosong bagaikan zombie.
“Maafkan aku Jessica, kau bertindak hingga sejauh ini gara – gara aku. Tapi tetap saja alku tidak bisa menerima mu, kau membunuh dan tak seorangpun akan mempercayaimu lagi. Termasuk aku..” ucap ku lirih.


                Polisi menggeledah seluruh tong sampah dan sudut sudut sekolah, dan didapatkannya sebuah benang berukuran kurang lebih delapan meter di toilet wanita, dan membawa serta penggerot yang di sembunyikan Jessica dalam kolong bangku untuk di periksa di lab. Dan terbukti terdapat zat luminol pada benang tersebut, sedangakan darah dalam penggerot pun sudah di cuci bersih meskipun menginggalkan segores darah di dalamnya. Kasus ini pun di tutup dengan kepergian Jessica ke kantor polisi.
“Rio, aku mencintai mu!” ucap Jessica saat melewati ku dengan wajah ceria yang tak pernah kulihat dengan pemandangan dirinya yang sedang diringkus polisi saat itu. Mungkin dia ingin meniru apa yang di lakukan Rinea waktu itu. Dan hari ini berkahir dengan damai, meskipun fikiran tak bisa menerima kata damai tersebut.
“Bagaimana kasusnya kak?” tanya adik kecilku sesampainya aku dirumah.
“Beres.” Ucap ku singkat.
“Nah kalau gitu, kakak juga harus beresin nih kasus barunya kakak. Tuh jemuran kelilit benang layangan anak –anak. Pokoknya kakak harus bersihin sampai gak ada sisa, ngerti? Dan satu lagi habis beresin itu semua langsung mandi!” perintahnya
“Iya, iya.” Bisa –bisanya yah nih bocah nyuruh kakaknya yang baru saja melewati sebuah serius, mungkin tak terpikirkan olenya perasaan apa yang kini ku derita semenjak kejadian tadi.
                Chuuuu.. sebuah ciuman melayang di pipiku “Selamat ya kakak ku yang hebat. Aku sangat menghawatrikan kakak.” Ucapnya penuh bahagia sambil berlalu meninggalkan ku.

Selasa, 03 Juni 2014

Hujan Tinggalkan Luka

Meratapi jalan yang sudah mulai terbasahi hujan di depan sana, yah.. Yang bisa kulakukan hanyalah meratap, terdiam tanpa sepatah kata. Ketika melihat dia bersenang dengan seorang di belakang sana, sedih? Tentu. Bahkan tawa bahagianya mampu menembus headset yang ku kenakan kini. Sebuah perjalanan singkat menuju kebun binatang kulalui bersama teman sekelas ku, bersama dia pastinya.
Kami semua berada dalam sebuah bis, suasana sangat bising. Beberapa asik mengobrol dan berteriak tak karuan, dan pada sela sela teriakkan mereka terdengar sebuah perkataan dari sang gadis impian, "yaah.. Hujan, gak asik banget!!" tentu saja ini sangat berlainan dengan ku, aku sangat menyukai hujan bagaimanapun keadaannya hujan lah yang mau mengerti kebutuhan ku. Aroma hujan menenangkan pikiran ku, hawa sejuknya memberi semangat, dan suaranya mampu mengantarkan ku pada sebuah gerbang mimpi. Yup, hujan adalah salah satu alternatif terampuh untukku tidur.
Aku mulai berfikir, mengapa dia membenci hujan? Apakah seburuk itukah hujan menurutnya? Apakah kita memang benar - benar berbeda?
Jika benar, maka aku tidak mau peduli. Aku berharap, hujan akan menemani perjalan singkat ku ini. Walaupun kenyataan berkata tidak, hujan menghilanb disaat aku mengharapkannya. Sama halnya dia, menghilang dengan cepat dengan menginggalkan beberapa luka di hati ini.

Minggu, 25 Mei 2014

Gadis Pendiam dan Pembunuhan Misteri



                “Jika kau tertarik, maka kemari dan lihatlah.” Katanya sambil berlahan menjauhi ku  di tengah hiruh pikuk aula kala itu.

.
                “Oyyy!!! Bangun cepet bangun, kamu pikir ini sudah jam berapa?!?!” teriakan keras itu membuat ku terbangun, sesaat ku toleh jam wecker di sebelah kasur ku menunjukkan pukul 06.30
“Ohh, aku telat ya?” jawab ku sembari mengedarkan raungan ke seluruh penjuru ruangan
“Kakak, apa yang kamu pikirkan! Cepat mandi atau aku siram pake air nih!!” kini dengan nada yang lebih di tinggikan.
“Iya, iyaa.” Kata ku menyudahi keributan di pagi ini.
                Nama dia Silvia, seorang gadis SMP dengan paras yang lumayan cantik bila ku bandingkan dengan teman temanya, dia memiliki tubuh yang sedang, rambut panjang (sepinggang) berponi, kulit putih dan tinggi yang ideal, senyumnya juga manis akan tetapi akan sangat berbeda jika kau membuatnya marah. Silvia adalah adik sepupu ku, yang sudah dua tahun tinggal dengan ku. Kami tinggal di rumah ayah akan tetapi kami hanya tinggal berdua, ayah ku bekerja sebagai manager sebuah perusahaan di Perancis, sedangkan ibuku bekerja sebagai bawahan ayah ku di perusahaan yang sama. Sudah dua tahun lamanya tak berjumpa dengan mereka, mereka menitipkan Silvia dengan harapan agar aku memiliki seorang yang rajin meneriakiku untuk bangun setiap pagi, yaah.. persis dengan apa yang ia lakukan pagi ini, “Kerja bagus nak” pikir ku saat kudapati diriku tengah menggosok gigi di depan cermin  dengan wajah yang di paksakan untuk terjaga.
“Kakak, cepatlaah! Sarapan sudah siap nih!” teriak adik kecil ku dari dapur.
Aku hanya diam dan melanjutkan aktifitas ku secepat yang ku bisa, kalian tak tahu bagaimana amarah Silvia ketika perkataannya tak dilaksanakan. Dasar gadis kecil yang menyeramkan.
“Nih cepetan di pake.” Serobotnya sesaat aku keluar dari kamar mandi. Terlihat dari penampilannya yang sudah sangat bersiap untuk berangakat sekolah. “Habis dipake, langsung kedapur. Udah aku siapan tuh sarapannya, inget ya GAK PAKE LAMA!” segera ku kenakan baju seragam ku yang sudah ia siapkan ketika ku yakin dia telah keluar dari kamar ku. Setelah bersiap siap kuhampiri dapur dan kudapati adikku sedang menyantap sarapannya sambil menonton sebuah film kartun pagi kesukaannya. Ku hampiri dirinya sambil mengambil beberapa roti dan segelas susu hangat buatannya yang ia letakkan di meja makan.
“Yuk jalan.” Ucap ku seusai melahap sarapan ku pagi ini.
“Yuk” balasnya singkat.
                Nama ku Rio, seorang pelajar SMA tahun ke dua yang selalu tertarik akan sesuatu yang janggal. Bisa dibilang aku penggila misteri, yah jika ada pekerjaan sebagai detektif maka akan aku habiskan seluruh  hidup ku untuk memecahkan kasus. Waah alangkah senangnya jika itu terjadi, oh iya aku hampir lupa kalau hari ini adalah pembukaan dari semester baru. Biasanya sekolah akan mengadakan upacara penerimaan siswa baru serta pembagian kelas dengan kata lain hari ini free, tidak belajar. Senannyaa.
                Deeeggg… “Perasaan apa ini?” aku seperti dapat merasakan aura kesepian yang teramat dalam disekitar ku, ssshhhh.. seorang gadis melintas tepat di belakang ku diantara desakan murid –murid lainnya, yap kami berada di ruang aula dalam acara penerimaan murid baru yang secara otomatis akan membuat para siswa berdesakkan dalam ruangan seluas ini. Aku penasaran akan apa yang aku rasakan, aku harus mencari tau! Ku tengok orang – orang disekitar ku, tak ada! Dimana dia? Seorang dengan aura seperti itu?
“Mencari ku?” sesaat ku mencari ternyata dia sudah berada di hadapan ku dengan senyum yang menusuk hati. Wajahnya putih pucat, badannya mungil disertai paras cantik dengan mata bulat bagai bola bekel berwarna sangat hitam, walaupun saat ini dia sedang tersenyum akan tetapi tatapannya kosong. Sontak aku menoleh ke bawah sekedar memastikan apakah dia benar – benar mahluk hidup seperti ku, kakinya menyentuh ubin aula sesuai dengan apa yang aku harapkan. “Jika kau tertarik, maka kemari dan lihatlah.” Katanya sambil berlahan menjauhi ku  di tengah hiruh pikuk aula kala itu.
                11C pelang yang tertulis tepat di ujung atas dari pintu kelas yang kini berada di hadapanku, yah inilah kelas baru ku dalam tahun ajaran baru ini aku masuk kedalam kelas ini dengan ditemani beberapa orang yang tak ku kenal. Yaah teman – teman ku saat kelas 10 sebagian besar berada di kelas 11A dan tentunya kelas 11A berada sangat jauh dari kelas ini. Aku memasuki ruangan kelas dengan langkah yang mantap, berharap akan menemukan teman yang mengasyikkan seperti tahun lalu. Pandangan ku tertuju pada sorang siswi yang duduk pada bangku di sudut belakang kelas ini, yah dia adalah orang yang tadi! Orang misterius dengan aura yang mengerikan !! segera aku arahkan langkah kaki ku menuju tempat yg tepat berada di sampingnya. Yap aku putuskan untuk duduk disini disebelahnya dan mengawasinya dari dekat. “Tak kusangka kita akan bertemu lagi disini. Kau benar – benar menginginkan ku kan?” ucapnya dengan pandangan kosong lurus kedepan. “Ingin kutunjukkan sesuatu yang menarik? Kelak kau akan mengetahuinya ketika kau merasakan apa yang kurasakan, dan lagi akan kubuat kau merasakannya.” Kini dia berbicara dengan menghadapkan wajahnya kepada ku berhiaskan segaris senyum di bibirnya. Kelas hari ini berakhir dengan sejuta tanya dalam benakku, apa yang dia maksud dan apa yang ia ingin tunjukkan padaku?
                Sebulan berlalu semenjak hari itu, dan selama sebulan penuh pula tak sekalipun suara terlontar dari mulutnya. Yah, dia tak pernah berbicara dia bahkan lebih memilih untuk menulis apa yang ia ingin katakan, untuk menjawab sesuatu yang menurutnya penting untuk dikatakan. Bahkan ia tak pernah berdiri sesenti pun dari tempat duduknya. Tingkahnya membuat ku bertanya, apa yang kini ia rasakan? Apakah gadis ini mengalami gangguan mental? Entah lah.
                “Maukah kau menjadi kekasih ku?” pernyataan seorang siswi sekelas dengan ku yang dengan frontalnya mengatakan kalimat penuh arti di hadapan ku, sejenak aku berfikir untuk siapa kata – kata itu ditujukan dan kusadari bahwa dia serius mengatakannya kepadaku mengingat hanya ada Jessica yang tersisa di dalam kelas, walaupun mungkin Jessica tak mendegarnya tak menutup kemungkinan dia mendengarkannya dengan seksama, tak ada satupun yang mengetahui sifat Jessica sejauh ini. “Ri, Rinea? Apa yang kau katakan? Apa kau serius?” Balas ku pada gadis bermata empat ini.
“Tentu saja aku serius dengan mu Rio! Maukah kau menjadi kekasih ku?” Ulangnya
“Aku tak tahu, aku juga tak yakin akan perasaan ku. Bisa kau beri aku waktu sebentar? Aku masih belum siap jika mendadak seperti ini.” Ucap ku gugup, ini adalah pertama kalinya seorang wanita menyatakan perasaannya kepada ku secara langsung.
“Baiklah, ku tunggu jawaban mu segera.” Jawabnya
Aku hanya membalasnya dengan wajah bingung.
“Hanya itu yang ingin ku katakan, maaf sudah mengganggu waktu mu. Aku akan pulang sekarang.” Katanya sambil meninggalkan ku di koridor kelas. Kembali diriku kedalam kelas untuk merapihkan beberapa buku pelajaran yang masih berserakan di meja ku.
“Kau mendengarnya?” kutujukan untuk satu –satunya orang yang masih tersisa di dalam kelas, dan seperti biasa tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Jessica, gadis misterius yang pernah mengatakan kata – kata aneh padaku.
“Mulai menarik, aku mulai menyukainya.” Kata Jessica, ini adalah kali ketiga dia berkata hal – hal aneh padaku.
“Maksud mu?”
Tanpa jawaban, dan dia berlalu meninggalkan ku dalam kebingungan, sendirian di dalam kelas.


                Kriingg!! Kriiinngg!! Kriingg, “Ooyy, sampai kapan kau akan terus tidur, pemalas!” Bbyyuurr!! “Tuh rasain! Hahahaha!”
“SIILLLLVVVIIIIAAAAAAA!!!!”
                Ruang makan. “Sudah berapa kali aku katakana padamu untuk bangun lebih awal, hah?” omelnya sambil menjilat sendok berisikan penuh selai kacang kesukaannya.
“Bukannya itu memang tugas mu? Dan lagi untuk apa kau lakukan itu di hari minggu! MINGGU!!” ucap ku kesal
“Tak perlu dua kali kau menyebutkannya, aku juga sudah tau. Tapi setidaknya kau bangun lebih pagi sekali – sekali tak masalah kan?”
“Tentu saja itu sebuah masalah!”
“Yaampuun, sudahlah. Sekarang kau cepat rapikan kamar –kamar, dan aku akan memasakkan sesuatu untuk mu.”
“Yah yaahh.”
“Dan satu lagi, ingat janji mu kan?”
“Baik, aku akan mengantarkan mu belanja.”
“Teheee..”
                Terlihat pemandangan renggang dalam supermarket ini, yah.. karena jam segini (13.00) keadaan di supermarket memang sedang sepi – sepinya di bangingkan pagi hari, Silvia tak suka dengan keramaian adik kecil ku ini memang bersifat tertutup dengan orang yang tak dikenalnya. Itulah ala an mengapa dia tak memiliki pasangan sampai saat ini, ah! Mengingat masalah pasangan, aku jadi ragu dengan jawaban apa yang akan kuberikan kepada Rinea. Aku tak tahu apakah aku menyukainya atau tidak.
“Oy, Silvia!”
“Apa?”
“Kau tahu, walaupun sepi ada banyak orang disni. Jadi bisakah kau melepaskan genggaman tangan mu? Malu tau!” sambil ku coba untuk melepaskan tangan dari mahluk ini.
“Biarin! Weeekk! Yang malu siapa?”
“Dasar Jones!”
                Terlihat sosok yang ku kenal di depan sana, Rinea! apa yang sedang ia lakukan disini? bukan, mengapa dia ada disni? “Sil, kita harus cepetan pergi!” kata ku sambil menarik tangannya.
“Ada apa sih kak? Belum juga selesai!” bentak Silvia setelah tak berada dari pandangan Rinea
“Nggak, perasaan ku lagi gak enak nih. Pulang yah!” bujukku. Setelah perselisihan cukup panjang akhirnya Silvia berhasil ku ajak pulang. Ampun, jangan lagi dah!
“Silviaa, malam ini makan apa ya?” teriakku dari kamar sembari mengerjakan PR.
“Ini nih ada sup.” Balasnya, waahh adik kecil yang bisa di andalkan. Yah.. rasa lapar pada perut ku tak bisa di tahankan lagi, dan sekarang juga sudah waktunya makan malam. Ku serobot seperangkat alat makan di dapur dan tak terlupakan sup yang sudah dijanjikan Silvia ku tuangkan dalam mangkuk. Saat kuraih sendok dan membuka panci, aku merasakan ada yang kurang. “Dimana dagingnya!?” ucap ku kaget, “Lah salah sendiri ngajakin pulang, nah sekarang nikmatin tuh menu vegetarian.” Ejeknya, mungkin ini adalah resiko yang harus ku tanggung lantaran tak ingin Rinea salah paham. Apa jadinya jika Rinea sampai melihat ku bergandengan dengan adikku? “Bisa panjang urusannya” gumam ku.


                Pagi ini aku berjalan ke sekolah seperti biasa, “hanya saja ada seorang gadis kecil yang mengikuti ku sambil menggandeng tanganku.” Tatapan mata gadis itu tertuju pada ku, melihat ku dengan penuh rasa curiga. “Kakak lagi ngomongin aku ya?!” oh.. bisa baca pikiran rupanya. Sekolah ku dengan adik manis ku memiliki arah yang sama bahkan tempat yang berdekatan, jadi tak jarang aku berangkat bareng dengannya. Walaupun dia masih seorang bocah SMP, tapi tubuhnya menyerupai anak SMA dan kesalah pahaman oun sering terjadi diantara kami, anehnya Silvia tak pernah menanggapinya dengan serius “Adik yang aneh.” Fikir ku. Sejauh ini tak ada yang aneh hingga suatu hal yang tak diinginkan pun terjadi. Aku berjalan menuju pintu gerbang sekolah ditemani Silvia dengan gandengan tangannya yang erat, dan Rinea tepat berada di depan kami, di depan pintu masuk sekolah ku. Tatapan Rinea sekan – akan tak terima atas apa yang kini ia lihat di depannya, “Sial!” gumamku. Rinea pun langsung berlari ke dalam sekolah, dan sepertinya Silvia tak memperhatikannya “Oh iya kak, aku mau kasih sesuatu nih biar kakak semangat belajarnya. Tutup matanya dulu dong.” Bisa bisanya dia memberiku hadiah, sedangkan seorang gadis sedang bersedih akan kesalah pahamannya sendiri. “Baiklah aku tutup mataku.” Kuikuti perintahnya, mungkin dia hanya memberikan sebuah permen yang ia beli kemarin karena dia sudah biasa melakukan ini. “Cuuuppp..” sebuah ciuman mendarat telak di pipiku
“Oy ngapain sih?!” bentakku
“Hehe.. dah yaa, aku mau sekolah dulu.” Ucapnya dengan enteng.
                Dan dibalik itu semua, seorang memperhatikan kami dari kejauhan. Dengan tatapan penuh keyakinan dan sebuah senyum kemenangan. Jessica, apa yang ia lakukan dengan memperhatikan ku seperti itu?! Apapun itu, masih merupakan sebuah misteri yang ia simpan.
                Sesampainya aku didalam kelas, terlihat sosok Rinea dengan tatapan kosong terduduk di kursinya yang tepat berada di depan tempat duduk Jessica dan pastinya dekat dengan ku. Wajahnya yang selalu menyambut kehadiran ku dengan sebuah senyuman hangat kini berubah dengan tatapan sedih bagaikan orang frustasi. Bagaimana aku menjelaskan kesalah pahaman ini pada Rinea? Jika dia sendiri merasa tertekan seperti itu, ada sebuah niatan untuk menerimanya dalam benakku dan lagi aku tak tega melihat seorang gadis mengalami tekanan seperti ini. Jessica yang duduk tepat di belakangnya hanya diam seperti biasa tanpa melakukan gerakan yang menurutnya tak penting, yah.. memang seperti itulah seharusnya. Dan bunyi bel tanda mulainya pelajaran pun bordering dengan pikiran ku yang tak terfokus pada pelajaran sama sekali.
                “Sreg..” sebuah bunyi yang tak biasa berasal dari sebelah ku tepat dimana Jessica duduk terdengar nyaring ketika jam pelajaran pagi ini usai. Saat kutolehkan hadapan ku kearah sumber bunyi tersebut, kudapati Jessica tak berada disana. “Hey, aku sudah melihat semuanya, apakah kau masih penasaran dengan ku? Apakah kau ingin melihat sesuatu yang menarik? Apakah kau juga ingin merasakan apa yang selama ini kurasakan? Sekarang kau mendapatkannya, apa yang kurasakan kini akan menjadi milik mu.” Sebuah suara yang sudah lama ingin kudengar sekarang mulai berdengungan di telingaku, kusadari bahwa seorang yang ingin kuketahui keberadannya sudah berada di belakang ku, dengan posisi mulut yang sedikit di dekatkan kearah telingaku agar aku bisa mendengar kata – kata yang ia lontarkan.
“Maksud mu?!” teriakku sambil menoleh kebelakang
“Lihat saja nanti.” Ucapnya sambil kembali ketempat duduknya. “Jessica, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” gumam ku penasaran. Pemandangan yang tak biasa lainnya pun terjadi lagi, Jessica yang berwatakan tak ingin mengeluarkan tenaga untuk hal yang menurutnya tak perlu sekarang mulai memajukan posisi tubuhnya dan mendekatkan kepalanya kepada telinga seorang siswi frustasi di depannya. Dia membisikkan sesuatu kepada Rinea, seketika itu pula Rinea mulai menangis dan beranjak dari tempatnya, berlari sekencang mungkin keluar kelas hingga tepat pada pintu kelas yang terbuka lebar. “Zraatttt…” sebuah kepala melayang menuju kelas, sosok wajah dalam kepala itu sangat khas bagi ku. “Riinnneeeaaaaaaaaa!!!” teriakku saat tersadar bahwa sosok wajah dalam kepala tersebut adalah Rinea. Teriakanku pun disambut spontan olah seisi orang dalam kelas, “Semuanya! Harap tenang!” jangan ada satupun yang boleh meninggalkan kelas sebelum polisi datang dan jangan ada yang berani menyentuh ataupun mendekati jasat Rinea!” Peringatan ku mengheningkan kericuhan dalam kelas. Pemandangan seperti ini adalah yang pertama bagi ku, melihat sosok gadis tanpa kepala tergeletak di depan kelas dengan darah yang tercecer dimana – mana, segera aku berlari kedepan kelas dan terlihat kepala Rinea yang terlepas dari tubuhnya dengan wajah yang menghadap padaku menunjukkan ekspresi sedih seakan ingin mengatakan “Rio, aku membenci mu” pada ku. Bayangan ku pun mulai tak terkendali pikiran ku kacau, dan disaat yang sama terlihat senyum bahagia Jessica di sudut ruangan kelas ini tepat di bangkunya terduduk manis sembari melihat pemandangan depan kelas dengan girangnya. “Psikopat! Dia adalah seorang psikopat!” fikir ku, bagaimana dia bisa duduk sambil tersenyum kegirangan sedangkan seorang teman sekelasnya sedang tergeletak tanpa nyawa di hadapannya? Walau aku curiga dengannya, tetapi aku tak bisa membuktikan apapun untuk menuduhnya.
                Beberapa saat kemudian polisi pun datang, dan membeberkan beberapa alat yang digunakan dalam kasus pembunuhan kali ini. Dalam olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) polisi menemukan seutas benang yang terikat pada paku yang tertancap pada tembok, benang yang sangat tipis bagaikan rambut dan memiliki tingkat ketajaman yang melebihi silet. Selain itu polisi juga menemukan dua buah paku paying yang satunya tertancap dengan ikatan tali dan satunya tak berisi ikatan ataupun bekas ikatan, kedua paku tersbut tertancap pada tembok disebelah mulut pintu dan bersebrangan dengan posisi yang sama. Polisi melakukan otopsi pada mayat Rinea dengan membayanya ke rumah sakit terdekat beserta alat pembunuhan setelah memasang garis polisi di depan kelas kami.  “Hmm, menarik.” Gumam seorang pria dengan jaket tebal tak kalah saing dengan kumis panjangnya. Terdapat tulisan detektif pada sisi dada sebelah kiri jaket tersebut dan nama yang bertuliskan Jhon tepat dibawah tulisan detektif. “Adakah yang tahu persis bagaimana peristiwa ini terjadi?” sambungnya. “Saya melihat dengan jelas bagaimana korban tewas, dia berlari kencang dan tiba – tiba, tiba – tiba dia, kepalanya..” tampak wajah ketakutan seorang gadis di kelas ku ketika menjelaskan apa yang ia lihat dan apa yang ia ingat tentang peristiwa tragis di depan matanya.
“Jika di analogikan, korban berlari sangat kencang ke arah pintu yang sudah berisikan benang yang  diikatkan pada dua buah paku yang sudah di persiapkan oleh pelaku.  Jika seperti ini  maka pembunuhan ini adalah pembunuhan acak.” Ungkap detektif tersebut.
“Jika memang ini adalah pembunuhan acak, maka kemungkinan berhasilnya sebuah pembunuhan akan sangat kecil. Mengapa? Karena jika pembunuhan acak akan sangat kecil  kemungkin korban akan berlari, iya kan? Bagaimana jika saat itu korban hanya berjalan, maka yang terjadi adalah benang tersebut tak akan bisa memutus leher korban dan pembunuhan pasti akan gagal total.” Timpal ku.
“Wah, boleh juga kamu anak muda. Lalu bagaimana dengan tali yang diikatkan kepada dua buah paku pada mulut pintu tersebut? Jika kita lihat ini sudah jelas dilakukan secara acak, mungkin saja ada kemungkinan bahwa pelaku tak berniat membunuh korban dan mungkin saja pelaku hanya ingin berbuat iseng.” Jelas detektif ini. Mungkin ada benarnya juga apa yang ia katakan, akan tetapi apa iya seseorang iseng dan tanpa sengaja membunuh orang lain akibat perbuatan isengnya?
“Baiklah, agar leih tepat. Bagaimana jika saya menanyakan alibi tiap – tiap murid kelas ini? Dimulai dari kamu.” Pintanya pada ku.
“Saya hanya terdiam saat itu di bangku saya. Dan menurut saya semua siswa disini melakukan hal yang sama, karena sesaat setelah korban tewas tak ada satupun yang keluar kelas sampai sekarang.” Jelas ku
“Mengapa?”
“Karena saya yang memintanya.”
“Tetapi, pasti ada hal detil yang mereka lakukan kan?”
“Emm, permisi. Bisakah saya membuang sampah sebentar?” potong seorang siswi yang tak lain adalah Jessica dengan sebuah penggerot di tangannya. “Penggerot ini sudah penuh.” Ucapnya kalem.
“Ohh, silahkan.” Balas detektif Jhon.
                Petugas dari tim otopsi pun kembali sesaat setelah Jessica keluar dari kelas menuju tempat sampah yang tepat berada di depan kelas kami, mungkin mereka berpapasan di depan pintu kelas. Mereka menemukan adanya zat luminol pada benang dan sedikit pada masing – masing paku, namun ada yang aneh. Zat luminol pada paku payung tersbut terletak pada bentuk payung dari paku dan untuk paku yang satunya lagi terletak pada bentuk payung dan batang dari paku tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30 sudah tujuh jam kasus ini berlangsung, tanpa titik terang. Jessica pun kembali ke tempat persemayamannya setelah beberapa menit  membuang sampah hasil rautannya.
                “Drrtt.. drrrttt..” sebuah getaran dalam saku celana ku membuyarkan semua pemkikrian dalam kasus ini, segera ku rogoh saku celana dan kudapati sumber getaran tersebut berasal dari handphone ku. Silvia incalling, begitulah yang tertera dalam layar handphone dalam genggaman ini. Segera kuangkat telfon masuk darinya dan,”Kakak! Ada apa disekolah kakak! Kenapa rame? Kenapa ada mobil polisi? Kenapa belum pulang jam segini?” bertubi – tubi pertanyaan dilontarkan oleh adik kecil ku tanpa henti. “Silviaaa, tenang aja. Gak ada apa –apa sama kakak, cuma yaa.. ini ada kasus pembunuhan di kelas. Jadinya kakak pulang agak telat, maaf yaa.. sudah buat kamu khawatir, bisa kakak tutup telfonnya?” balas ku. “Okedeh kak, tapi jemuran dirumah dirumah diobrak – abrik loh sama anak tetangga, gara – gara rebutan layangan putus, jadi cepet pulang ya kak. Oh iya hati – hati yah..” tuut.. tuut.. tuut..
                “Dasar adik aneh, aku kira dia bakal khawatir tentang masalah ku. Eh malah jemuran yang di bahas.” Gumam ku. Tunggu dulu, apa dia tadi ada menyebutkan tentang layangan putus? Layangan putus dengan tali kan? Dan apa yang akan dilakukan seseorang jika layangannya sudah putus? Wah wahh, jadi begitu ya. Titik terang dari kasus ini sudah mulai terlihat, dan aku akan membalas semua rasa putus asa ini pada mu. “Lihat saja nanti, akan kubongkar kejahatan mu.” Ucap ku sinis dalam hati sambil kulihat wajah Jessica di sudut sana.

Tobe Continue ~

 Lanjutannya di tunggu minggu depan yah.. Thanks udah mau kunjungan :)